Walkable City untuk Kota Berkelanjutan dengan Emisi Nol Karbon

Layanan Informasi BPIW     |     16 Nov 2021     |     01:11     |     5985
Walkable City untuk Kota Berkelanjutan dengan Emisi Nol Karbon

Oleh: Maylinda Permata Sari* 

Physical footprint dalam ilmu lingkungan digunakan sebagai metode perhitungan kuantitatif yang menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Footprint dihitung dari tiga aspek, yaitu ecological footprint (satuan hektar lahan), carbon footprint (satuan ton emisi CO2) dan water footprint (satuan m3 volume air). Pendekatan ini digunakan sebagai indikator keberlanjutan, serta memberikan penjelasan mengenai dampak perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menghubungkannya dengan daya dukung bumi.

Carbon footprint adalah indikator mengenai dampak aktivitas manusia terhadap iklim global yang dinyatakan dalam jumlah gas rumah kaca yang diproduksi. Carbon footprint menggambarkan kontribusi individu atau negara terhadap pemanasan global, dan menunjukkan total emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya pada seluruh proses untuk menghasilkan produk atau jasa (Pratiwi, 2010).

Emisi karbon berdampak meningkatkan suhu bumi dan menyebabkan bencana iklim serta kerugian ekonomi. Kawasan perkotaan di dunia yang diprediksi akan menjadi hunian bagi sekitar 56% penduduk pada 2020 dan akan meningkat menjadi 66% pada 2050, memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi karbon. Komitmen Perjanjian Paris mewajibkan negara maju mencapai net-zero emissions atau emisi nol karbon pada 2050.

Di Indonesia, pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim telah menjadi platform nasional untuk mencapai target Sustainable Development Goals dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Indonesia saat ini sedang berupaya mencapai nol emisi dengan skenario paling cepat, yaitu mencapai nol emisi pada tahun 2045. Target nasional penurunan emisi ditetapkan sebesar 27,3% pada 2024.

Porsi terbesar (90%) dari produksi emisi Indonesia bersumber dari emisi energi dan pemakaian lahan, sehingga sektor ini menjadi prioritas upaya pencapaian nol emisi saat ini. Efisiensi energi ditingkatkan dari 1% menjadi 6,5% pada tahun 2030. Juga dengan penambahan restorasi lahan gambut 300.000 Hektar per tahun serta menambah reforestasi 250.000 hektar per tahun.

Upaya tersebut mengandung risiko kemunduran waktu pencapaian target. Jika transformasi energi gagal dan tidak bisa mencapai puncak emisi pada tahun yang ditetapkan, maka pergeseran nol emisi akan melenceng jauh. Sebagai gambaran, puncak emisi 2027 memungkinkan nol emisi tercapai pada 2045- 2050, sedangkan jika puncak emisi terjadi pada 2034, maka nol emisi baru akan tercapai pada tahun 2070, (ForestDigest, 2021)

Urbanisasi Berkelanjutan

Dalam buku The Value of Sustainable Urbanization, disebutkan bahwa tahun 2020 merupakan titik balik pembangunan berkelanjutan, dimana kota menjadi pusat hunian mayoritas populasi dunia. Pada satu satu sisi, dunia memasuki abad rencana aksi dimana perlu dilakukan percepatan upaya pencapaian SDGs untuk mengatasi berbagai tantangan seperti kemiskinan hingga perubahan iklim. Namun di sisi lain, dunia dihadapkan pada pandemi virus Corona yang berdampak pada kondisi ekonomi yang memburuk. Pola kerja dan kehidupan sempat mengalami perubahan dengan adanya pola Work from Home, dan bangkitnya sektor perkebunan dan pertanian.

Saat itu PBB memprediksi bahwa 71 juta orang akan mengalami kemiskinan ekstrem, dengan setengah dari tenaga kerja yang berupa pekerja informal mengalami penurunan pendapatan. Pemulihan bisa jadi memerlukan waktu yang tidak sebentar.

New Urban Agenda mengangkat nilai urbanisasi berkelanjutan, tentang bagaimana kehidupan warga di kota diupayakan dapat berkontribusi untuk kesejahteraan ekonomi, meningkatkan kualitas lingkungan, kesetaraan sosial, serta memperkuat aspek budaya. Urbanisasi berkelanjutan menjadi penting untuk kembali ke jalur upaya pencapaian SDGs dan target Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim.

Saat ini kota menghadapi berbagai tantangan. Konsumsi lahan akibat perluasan area perkotaan (sprawl) tumbuh sangat cepat. Bahkan di negara maju urban sprawl berlangsung lebih cepat daripada peningkatan populasi. Hal ini berimplikasi pada konsumsi energi, emisi gas rumah kaca, perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu masih banyak tantangan lain yang dihadapi antara lain adanya migrasi penduduk baik lokal maupun antar negara, yang mempengaruhi arus urbanisasi. Adanya kesenjangan pendapatan yang berjarak semakin jauh juga rawan akan kerusuhan sosial. Harga rumah yang semakin tidak terjangkau menyebabkan MBR akan tetap menghuni lingkungan kumuh dan rumah tidak layak huni, dimana saat ini 20% populasi dunia tinggal di rumah tidak layak huni, termasuk di kawasan kumuh dan permukiman informal.

Urbanisasi berkelanjutan diupayakan untuk kesejahteraan manusia melalui nilai-nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan. Terdapat hubungan positif antara laju urbanisasi dengan pertumbuhan ekonomi atau PDB per Kapita. Meski luas area perkotaan hanya 1-10% dari luas negara, namun bisa berkontribusi terbesar terhadap PDB per kapita. Jadi untuk bisa menjadi negara yang mumpuni (qualified) tidak perlu membuat seluruh kawasan dalam negara menjadi perkotaan. Selain itu perkotaan juga dapat memiliki tingkat produktivitas yang berbeda-beda. Semakin maju negara, maka tingkat produktivitas kota semakin tinggi meskipun dengan luas area perkotaan yang sama.

Faktor penentu produktivitas kota yang bersifat intrinsik (dari dalam kota) misalnya aglomerasi ekonomi dan skala ekonomi, adapun yang bersifat ekstrinsik (intangible) antara lain efisiensi teknis, kerangka kelembagaan, serta kualitas hidup. Kota yang compact akan memiliki efek aglomerasi yang kuat dengan tersedianya beragam keterampilan kerja. Kerja sama serta pertukaran ide juga semakin mudah karena kedekatan jarak, meskipun tidak lepas dari sarana komunikasi yang semakin maju. Perlu keberagaman untuk menjadikan kota kreatif.

Urbanisasi yang dibiarkan tanpa terencana dapat mengalami dua kemungkinan: Urbanisasi tanpa pertumbuhan, dan Urbanisasi tak terkendali. Urbanisasi tanpa pertumbuhan artinya terjadi inefisiensi pelayanan perkotaan, sehingga pendapatan digunakan untuk biaya hidup berupa pelayanan dasar yang mahal. Contohnya adalah kelangkaan air sehingga harus membeli mahal, biaya transportasi alternatif yang mahal karena menghindari kemacetan. Urbanisasi tak terkendali biasanya terjadi karena kurangnya kapasitas perencanaan (timbul kemacetan, sungai penuh sampah, pemborosan, kualitas udara yang buruk), urban spatial yang terpencar (sprawling) sehingga meningkatkan biaya infrastruktur, atau karena adanya aturan bangunan yang membatasi peningkatan kepadatan penduduk.

Urban sprawling akibat urbanisasi tak terkendali perlu dicegah untuk mengatasi emisi karbon di perkotaan. Mewujudkan walkable city bisa jadi merupakan cara terbaik yang sejalan dengan upaya untuk mencegah terjadinya urban sprawling. Untuk mewujudkan walkable city dan kota berkelanjutan serta berketahanan iklim, setidaknya ada dua hal dapat dilakukan, yaitu efisiensi transportasi dengan compact development, dan desain ruang publik. Compact development akan terkait dengan struktur dan pola ruang, lebih bersifat jangka panjang, lebih berdampak besar, dan memerlukan perencanaan yang lebih komprehensif, sedangkan desain ruang publik sifatnya lebih praktis, lebih detail, dan lebih mudah diimplementasikan. Keduanya penting dan saling mendukung untuk membentuk perilaku manusia terutama di perkotaan.

Efiesiensi Transportasi dengan Compact Development

Kota-kota modern di Indonesia cenderung mengalami high density sprawl. Urban sprawl secara sederhana dapat diartikan sebagai perkembangan kawasan perkotaan yang tidak terkendali, atau pembangunan perkotaan yang tersebar ke segala arah, umumnya mengorbankan lahan murah di pinggir kota, sehingga banyak lahan pertanian yang berubah menjadi permukiman secara masif. Hal yang paling sering disorot mengenai dampak negatif dari urban sprawl adalah berkurangnya lahan pertanian dan daerah hijau secara signifikan.

Upaya pengendalian urban sprawl telah dilakukan antara lain dengan perangkat peraturan seperti RTRW dan RDTR, namun demikian masih ada beberapa kendala dalam pengendalian seperti masalah kelengkapan data potensi sumber daya lahan, kesesuaian program ruang dengan rencana tata ruang, serta lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan lahan. Urban sprawl umumnya akan diikuti dengan berkembangnya sistem transportasi ke arah pinggiran kota, yang biasanya didukung dengan perkembangan jalan tol serta kemudahan memiliki kendaraan roda empat. Adanya jalan tol juga akan semakin meningkatkan perkembangan perumahan di sekitarnya (Faturochman 1990).

Ramlan (2015) mengkaji empat faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengendalian urban sprawl di wilayah pinggiran, yaitu peraturan, kelembagaan, sumber daya manusia, dan pelaksanaan. Ia menyimpulkan bahwa dua faktor terakhir ternyata merupakan faktor yang paling menentukan hasil.

Pakar perencana kota Peter Calthorpe (2017) memberi gambaran kepada kita akan kaitan antara perencanaan kota yang baik dengan upaya pengurangan emisi karbon untuk perkotaan yang berketahanan iklim. Bagaimana kita membangun kota akan menentukan perilaku sosial seperti apa yang akan dibentuk, dan selanjutnya perilaku ini akan menentukan apakah kita dapat mengatasi perubahan iklim atau tidak. Ia membandingkan dua skenario pertumbuhan kota.

Pertumbuhan kota yang menuju ke arah urban sprawl cenderung menghasilkan carbon footprint yang cukup besar dibandingkan dengan compact development, smart growth. Bagaimana kita membangun kota tidak hanya akan pada dampak terhadap lingkungan namun juga kesejahteraan sosial, keberlanjutan ekonomi, serta keterikatan dan keterhubungan dalam komunitas.

Calthorpe melihat fenomena sprawl secara lebih luas, tidak hanya terbatas pada pembangunan berkepadatan rendah di luar periferi pada kawasan metropolitan. Menurutnya, sprawl dapat terjadi dimanapun dan pada kepadatan apapun. Atribut kunci dari sprawl adalah adanya isolasi terhadap orang orang, dengan adanya kantong-kantong kelas ekonomi pada permukiman warga, serta kantong-kantong guna-lahan (land-use), dan juga menjauhkan permukiman dari lingkungan alami. Ia menyebutkan bahwa adanya sprawl akan menghambat terjadi fertilisasi silang (perpaduan keunggulan) serta interaksi masyarakat, yang keduanya sebetulnya diperlukan untuk membuat kota menjadi maju dan berkembang pesat.

Ia mencoba membangun model perkembangan kota, membandingkan sprawl dengan compact development untuk mewadahi penambahan 10 juta penduduk negara bagian California pada tahun 2050. Model sprawl dibangun dengan adanya shopping malls, lahan parkir, dan pemisahan fungsi-fungsi secara jelas. Adapun pada compact development dibangun lingkungan yang berkepadatan rendah, nyaman bagi pejalan kaki, namun terintegrasi, dengan fungsi mix-used.

Dua tipe ini diminati oleh kelompok yang berbeda. Compact development menjadi favorit bagi orang orang yang senang berada di dekat ruang terbuka hijau. Dibandingkan dengan versi sprawl ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pertama, compact development menghemat urban physical footprint menjadi separuhnya, dibandingkan dengan sprawl yang menggunakan lahan yang dua kali lipat lebih banyak. Kedua, emisi karbon terbesar akibat sprawl bersumber dari kendaraan roda empat, sedangkan kota yang tidak bergantung pada kendaraan roda empat mengalami penghematan yang sangat besar. Ketiga, Vehicle Miles Traveled (VMT) pada compact development berkurang sekitar 17.000 kilometer per rumah tangga dalam satu tahun, dari sekitar 40.000 km akibat sprawl. Pengurangan jarak tempuh ini tidak saja berdampak pada kualitas udara namun juga penghematan biaya rumah tangga untuk transportasi, juga menghemat biaya pengobatan akibat kerusakan sistem pernafasan. Dengan compact development, tidak perlu ada biaya lingkungan akibat polusi udara karena sumber polusi dikurangi, dengan cara lebih banyak berjalan kaki dan bersepeda. Keempat, terjadi penghematan biaya rumah tangga tahunan (berkurang hingga USD 10,500 per rumah tangga pada tahun 2050) yang berasal dari biaya kendaraan dan biaya utilitas.

Dari permodelan tersebut, kini Los Angeles sebagai kota terpadat di California bertransformasi ke arah transit-oriented. Sejak 2008 tidak ada lagi anggaran untuk pembangunan jalan baru, dan lebih banyak membangun fasilitas transit seperti terminal dan stasiun. Kawasan yang semula tidak menarik lalu dibangun fasilitas transit, dibangun fasilitas mix-used, dan hal itu jadi menarik bagi permukiman baru di kawasan tersebut, menjadi walkable.

Calthorpe juga memberikan contoh lain dampak buruk akibat high-density sprawl yang terlihat di China dengan banyaknya superblocks berskala besar ribuan unit yang mengisolasi warga, seperti gated community sehingga warga tidak saling mengenal, dan akibatnya sekarang 12% dari GDP China digunakan untuk membiayai dampak kesehatan akibat buruknya kualitas udara di sana. Padahal dari sejarahnya komunitas warga China sebetulnya identik dengan toko-toko kecil, jalur pejalan kaki, pasar, dan pelayanan berskala lokal.

Di Chongqing China, dengan 30 juta populasi dan berukuran hampir sama dengan California, Calthorpe melakukan eksperimen desain dengan walkability. Tidak semua orang memiliki kendaraan roda empat, sehingga ia mentransformasi fungsi jalan eksisting sehingga 70% bagian jalan digunakan bagi pesepeda dan fasilitas transit bagi pejalan kaki (seperti BRT dan MRT). Ia memperkenalkan istilah 'kesetaraan dalam sistem sirkulasi'. Menurutnya, sebanyak apapun jalan lingkar yang akan dibangun di Beijing, tidak akan bisa mengatasi kemacetan. Sehingga, ia membangun jalan bebas kendaraan (auto-free street, atau pedestrian zones), dengan fungsi mix-used di sepanjang jalan, dilengkapi jalur transit.

Untuk studi kasus di sebuah kota di China, Calthorpe membuat masterplan perencanaan urban transit pada banyak titik, membuat radius jarak pejalan kaki di setiap titik transit berupa lingkaran-lingkaran kecil (walkable area). Dalam setiap lingkaran disiapkan perencanaan mix-used dan berbagai pelayanan dasar yang sifatnya lokal.

Pandemi virus Corona yang terjadi di dunia sejak 2020 telah menyebabkan krisis kesehatan serta pukulan ekonomi. Perkotaan menjadi episentrum COVID-19 dalam penyebaran virus. Khavarian-Garmsir (2021) dalam studinya menguji relevansi compact development pada masa pandemi COVID-19. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor kepadatan saja tidak secara otomatis menjadi faktor risiko penyebaran virus. Penghuni permukiman padat/compact dapat tetap aman saat puncak pandemi selama dapat menyesuaikan gaya hidup dan mematuhi protokol kesehatan. Compact urban form tetap perlu diupayakan oleh para perencana kota dan pembuat kebijakan mengingat manfaat yang lebih besar dari compact cities terutama bagi mitigasi perubahan iklim.

Desain Ruang Publik

Dalam upaya mewujudkan walkable city, peningkatan kualitas ruang-ruang publik seperti jalur jalan/pedestrian dan taman kota perlu mendapat perhatian. Selain itu masalah pengelolaan sampah juga perlu mendapat perhatian agar tidak menimbulkan masalah di ruang publik di perkotaan.

- Penyediaan Jalur Pejalan Kaki

Great streets di kota-kota terkenal di dunia umumnya adalah jalan untuk pejalan kaki, bukan untuk kendaraan roda empat. Beberapa yang memiliki ciri khas kuat adalah Avenue des Champs-Elysees di Paris, Stroget di Copenhagen, Ringstrasse di Vienna, Passeig de Gracia di Barcelona, atau Regent Street London. Desain jalan tersebut memperhatikan iklim dan cuaca. Jalan yang terlindung di bawah portico umumnya lebih tahan terhadap cuaca dingin di negara Eropa sehingga memberi kenyamanan. Bayangan pepohonan juga memberi kenyamanan saat panas terik. Jalan tidak harus sangat lebar, ruang jalan juga melihat skala dan elemen vertikal yang membatasinya. Skala 1:1 (tinggi dinding vertikal : lebar horizontal) terasa nyaman, namun tidak lagi nyaman pada skala 1:5. Dinding jalan bisa berupa pepohonan, berupa dinding masif, atau berupa kaca gallery pertokoan.

 

Pilihan moda perjalanan dapat mengandung dampak sosial. Berjalan kaki, bersepeda, menggunakan bus, atau menggunakan kendaraan roda empat akan menimbulkan dampak biaya sistem seperti perlunya polisi lalu lintas, ambulans, atau rumah sakit. Dampak biaya sistem dari penggunaan kendaraan pribadi roda empat adalah yang terbesar, lebih dari enam kali lipat dibandingkan dengan menggunakan bus umum (Speck, 2021).

Walkability memiliki manfaat secara kesehatan, yaitu mengurangi risiko obesitas. Selain itu juga tingkat kecelakaan lalu lintas di kota-kota yang walkable juga lebih rendah. Walkability juga penting untuk menjamin kesetaraan, dimana kelompok masyarakat berpenghasilan paling rendah umumnya menggunakan sepeda atau berjalan kaki dalam bekerja. Jeff Speck (2017) memberi empat cara untuk membuat kota menjadi walkable, yaitu adanya manfaat atau alasan yang jelas untuk berjalan, harus dibuat aman, dibuat nyaman, dan dibuat menarik.

Cara pertama, perlu ada manfaat dan alasan yang jelas untuk pilihan berjalan kaki. Terdapat dua tipologi kawasan dalam kaitannya dengan walkability, yang pertama adalah suburban sprawl, tipologi yang banyak muncul setelah 1950an. Pada tipe kedua ini terdapat Euclidean Zoning, pemisahan lansekap menjadi area area besar untuk fungsi tunggal. Tipe yang kedua adalah bentuk yang sebetulnya lebih tradisional, blok permukiman dengan beragam fungsi yang letaknya berdekatan dalam dalam jangkauan pejalan kaki (contohnya seperti di Newburyport, Massachusetts). Kawasan ini definisikan sebagai kawasan yang compact dengan hanya perlu 5 menit berjalan kaki untuk mencapai fungsi-fungsi yang dituju, dan beragam karena adanya fungsi tempat tinggal, bekerja, belanja, belajar, rekreasi, yang semua dalam jarak pencapaian pejalan kaki. Tipe ini disebut walkable. Kedua tipe tersebut digambarkan dalam ilustrasi berikut.

Untuk walkable cities, elemen penting bagi pejalan kaki yang wajib disediakan adalah transit, sebab pejalan kaki juga perlu untuk dapat menjangkau seluruh area kota. Tanpa adanya transit, pejalan kaki akan memerlukan kendaraan roda empat. Jadi transit sangat penting. Selanjutnya perlu untuk memperhatikan walkability di sekitar stasiun transit kereta atau bus. Secara efisiensi karbon, satu kereta dapat menggantikan 2.000 kendaraan roda empat.

Tanan dan Darmoyono (2017) memberi gambaran bahwa urban walkability dapat lebih diupayakan melalui penyelenggaraan kompetisi desain fasilitas pedestrian yang nyaman bagi para pejalan kaki termasuk juga bagi penyandang disabilitas, seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor. Kompetisi bagi publik ini merupakan upaya mewujudkan kota yang lebih nyaman selain juga menjaga nilai sejarah. Selain itu juga menjadi cara pemerintah dalam mensosialisasikan peraturan serta menampung inovasi publik. Input dari kompetisi akan memperkaya kriteria dan panduan perencanaan kota untuk selanjutnya. Pemerintah, professional dan masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan kota yang lebih hijau dan layak huni, rendah karbon dan berketahanan iklim.

Cara kedua untuk membuat kota menjadi walkable adalah perlu memperhatikan keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Kota di Amerika Serikat yang dibangun dalam bentuk grid sangat perlu memperhatikan ukuran blok. Dari sebuah studi yang dilakukan, melipatgandakan ukuran blok akan berarti memperbesar risiko kecelakaan fatal sebesar 4x lipat. Membangun jalan baru atau menambah lajur juga umumnya justru akan membuat lalu lintas semakin padat, karena penambahan lajur akan mengundang penambahan volume kendaraan. Penambahan jumlah lajur juga menentukan kecepatan laju kendaraan. Semakin lebar jalan, kecepatan kendaraan akan semakin kencang. Di kota di Amerika terdapat program skinny street, atau memperkecil jalan yang tujuannya agar lebih aman bagi pejalan kaki dan bagi warga setempat. Adanya pepohonan di tepi jalan juga cenderung akan memperlambat laju kendaraan, sehingga lingkungan lebih aman. Rekayasa seperti mengurangi jumlah lajur kendaraan roda empat dan mengubahnya menjadi jalur khusus bagi sepeda dapat menjadi upaya membuat kota lebih walkable dan lebih aman.

Cara ketiga adalah memperhatikan kenyaman pejalan kaki. Dibentuk oleh ukuran fisik dan skala ruang jalan, serta elemen vertikal yang membatasinya. Skala 1:1 (tinggi dinding vertikal : lebar horizontal) terasa nyaman, namun tidak lagi nyaman pada skala 1:5. Dinding jalan bisa berupa pepohonan, berupa dinding masif, atau berupa kaca gallery pertokoan.

Cara keempat adalah membuat jalan menjadi menarik bagi pejalan kaki. Agar pejalan kaki tidak merasa bosan, dapat diciptakan melalui arsitektur yang menarik. Bangunan yang besar dapat dipecah fasadenya agar menjadi unit yang lebih kecil, dikenal sebagai demise lines. Peran arsitek akan lebih banyak diperlukan.

- Penyediaan Taman Kota yang Sesuai Kebutuhan

Keberadaan taman-taman kota sangat penting untuk kenyamanan pejalan kaki. Taman kota utamanya adalah fasilitas publik untuk aktivitas manusia. Taman kota diharapkan memiliki kualitas tinggi, dengan pemeliharaan yang baik. Di Amerika Serikat telah ditetapkan target nasional bahwa di setiap lingkungan permukiman harus terdapat taman kota yang dapat diakses dalam 10 menit pencapaian berjalan kaki dari setiap rumah tinggal. Taman kota yang diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat dan semua usia, perlu menyediakan fasilitas bermain yang memenuhi standar minimum. Kualitas struktur permainan yang terjaga memerlukan sumber pembiayaan yang berkelanjutan, yang dapat diperoleh dari retribusi kuliner di sekitarnya sekaligus memfasilitasi pedagang kaki lima. Fasilitas bermain dan fasilitas kuliner pedagang kaki lima adalah dua fungsi yang saling mendukung, sekaligus mewadahi kebutuhan ekonomi pekerja informal kota serta melindungi hak anak. Taman kota seperti ini perlu terdistribusi merata di setiap bagian kota, terutama di permukiman (informal) berkepadatan tinggi. Selain itu, taman kota yang nyaman juga merupakan tempat warga kota melepas stress sehari-hari, dengan akses pencapaian yang mudah setiap hari. Selain penting untuk kenyamanan pejalan kaki, fasilitas sosial-ekonomi ini penting kesehatan fisik, psikis, dan kesehatan finansial seluruh lapisan penduduk kota. 

- Pengurangan Jumlah Sampah

Hal lain yang perlu diperhatikan untuk kenyamanan pejalan kaki adalah kebersihan lingkungan kota. Budaya konsumsi sekali pakai-buang mempengaruhi peningkatan sampah di kota-kota di Indonesia. Gaya hidup yang praktis namun berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan, seperti penggunaan botol plastik, tas kresek, dan belakangan ini juga ditambah limbah masker sekali pakai-buang. Kesadaran masyarakat untuk tidak mengotori lingkungan perlu dimunculkan, agar tergerak untuk memilah sampah yang dapat didaur ulang.

Bank-bank sampah perlu ada di setiap lingkungan kelurahan, lingkungan RW, bahkan lingkungan RT. Inisiasi dan pengelolaan bank sampah dapat dimulai oleh penggerak PKK, Karang Taruna, serta warga di setiap permukiman yang selanjutnya menjadi pengelola maupun nasabah bank sampah. Sampah yang terpilah dapat bernilai ekonomis dan mengurangi volume sampah yang perlu diproses di tempat pemrosesan akhir atau yang terbuang di tempat yang tidak semestinya seperti di sungai atau di lahan-lahan kosong. Inisiasi pengelolaan bank sampah oleh masyarakat juga perlu dibarengi oleh upaya pemerintah daerah dalam pemrosesan akhir secara baik.

Tindak Lanjut

Maruhum Batubara (2021) menyatakan ada lima langkah strategis yang dapat diupayakan terutama oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk mempercepat aksi perkotaan mewujudkan emisi nol karbon. Pertama, mengembangkan kerangka perencanaan kota terpadu melalui penggunaan lahan dan akses transportasi terpadu, penggunaan energi bersih, serta penyediaan ruang hijau yang mudah diakses. Kedua, mengurangi emisi karbon dari produksi material bangunan utama. Ketiga, menyediakan trotoar dengan jalur sepeda serta kawasan hijau di jalur utama kota. Keempat, mengalokasikan dana untuk kegiatan rendah karbon atau penurunan emisi. Dan kelima, menyiapkan rencana penerapan skema pajak karbon atau perdagangan karbon. Langkah-langkah ini diklaim sebagai investasi dekarbonisasi perkotaan dalam upaya mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Adapun Calthorpe (2017) menyebutkan ada tujuh prinsip universal yang dapat diadopsi untuk mengatasi sprawl dan untuk pengembangan kawasan perkotaan dan metropolitan yang lebih baik. Pertama, preserve, yaitu melakukan preservasi terhadap lingkungan alami, sejarah, dan pertanian utama. Kedua, mix, yaitu adanya campuran kelompok pendapatan, kelompok usia, ataupun land-use dalam satu area. Ketiga, walk, yaitu mendesain walkable street dan lingkungan berskala humanis, sehingga kota menjadi menyenangkan bagi pejalan kaki. Keempat, bike, yaitu memprioritaskan jalur bebas kendaraan dan jaringan jalur sepeda. Kelima. connect, meningkatkan kepadatan jaringan jalan dan membatasi ukuran blok. Keenam, ride, membangun transit berkualitas tinggi dan terjangkau seperti bus rapid transit/BRT, atau mass rapid transit/moda raya terpadu/MRT seperti di Jakarta. Ketujuh, focus, yaitu menghitung kepadatan dan fungsi mix-used agar sesuai dengan kapasitas transit atau transportasi publik.

Sebuah quote menarik dari Walikota Bogota: "Negara maju bukanlah tempat dimana yang miskin memiliki mobil, melainkan tempat dimana yang kaya bersedia menggunakan transportasi publik. Urban planning selayaknya berfokus pada manusia, bukan pada kendaraan roda empat.(**)

 *Penulis Pegawai BPIW, Juara Favorit Karya Tulis PUPR Memperingati Hari Habitat dan Kota Dunia 2021

 

 

 

Bagikan / Cetak:

Berita Terkait: