Oleh: Ratu Veby Renita*
Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi digital telah terbukti berhasil menstimulasi perubahan perilaku berbelanja masyarakat, terutama di perkotaan. Bagaimana tidak, sebelum mengenal internet dan ponsel pintar (smartphone), kita masih melakukan segala sesuatu secara manual, termasuk aktivitas berbelanja. Dalam hal ini, semua aktivitas berbelanja masih kita lakukan secara konvensional; mendatangi toko/pasar, bahkan menawar harga barang yang kita inginkan jika dimungkinkan, lalu kembali ke rumah.
Namun, dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, terlebih dengan harga ponsel pintar dan akses internet yang semakin terjangkau, kita semakin dipermudah untuk melakukan pekerjaan multitasking, seperti berbelanja kebutuhan rumah tangga sembari bekerja di kantor, tanpa harus beranjak dari kursi. Cukup dengan hanya meng-klik mouse pada komputer kita atau melalui aplikasi pada ponsel pintar, kita dapat memesan apa pun yang kita inginkan dan diantar sampai ke pintu rumah kita. Dari hasil riset yang dilakukan iPrice Indonesia menggunakan Google Analytics pada tahun 2018, lima kota di Indonesia yang teraktif berbelanja secara daring yaitu: Jakarta (42%), Surabaya (12%), Yogyakarta (9%), Medan (5%), dan Makassar (5%).
Selain itu, adanya pembatasan interaksi fisik melalui penerapan social distancing akibat pandemi COVID-19 yang tengah melanda seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, juga berdampak cukup signifikan bagi aktivitas masyarakat perkotaan. Guna menekan laju penyebaran virus COVID-19 di Indonesia, terdapat berbagai format kebijakan pemerintah yang diberlakukan untuk membatasi pergerakan masyarakat, mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga PPKM dengan empat level, yang menyebabkan seluruh aktivitas di luar rumah dibatasi, baik itu kegiatan bekerja, belajar-mengajar, maupun beribadah.
Tentu saja hal ini turut mempengaruhi aktivitas-aktivitas lainnya, termasuk kegiatan berbelanja kebutuhan hidup. Terlebih lagi, sejumlah swalayan dan supermarket pun telah banyak yang menyediakan layanan digital. Sehingga, banyak masyarakat yang akhirnya beralih pada transaksi elektronik (e-commerce) untuk berbelanja kebutuhan sehari-sehari yang berdampak pada pesatnya pasar daring ini. Dengan demikian, walaupun bukan sebuah fenomena baru, berbelanja secara daring nyatanya telah semakin dilakukan secara intensif oleh masyarakat perkotaan sejak mewabahnya COVID-19. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh SIRCLO, transaksi e-commerce di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 90% dengan sekitar 12 juta pengguna baru sejak pandemi COVID-19 melanda. Menurut e-Conomy SEA, dua layanan online yang paling populer di Asia Tenggara selama pandemi COVID-19 adalah layanan pesan-antar makanan dan bahan makanan.
Namun, sejalan dengan pesatnya peralihan dari transaksi belanja secara fisik ke daring, apakah dampaknya terhadap lingkungan menjadi lebih baik? Seperti yang kita ketahui, jejak karbon (carbon footprint) yang kita hasilkan dari beragam aktivitas yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (termasuk CO2) dapat berdampak negatif bagi bumi seperti terjadinya cuaca ekstrim dan bencana alam, kekeringan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.
Dalam spektrum ini, jika kita peduli untuk sebisa mungkin mengurangi jejak karbon dari berbagai aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, preferensi untuk berbelanja secara daring (online shopping) atau dengan cara mendatangi langsung pusat perbelanjaan (in-store shopping) bisa cukup dilematis.
Dilema Antara Berbelanja Secara Daring vs Konvensional untuk Mengurangi Jejak Karbon
Secara sepintas, kita dapat saja beranggapan bahwa aktivitas berbelanja secara daring dengan layanan pengantaran barang sampai ke rumah (home delivery service) dapat saja lebih rendah karbon. Secara teori, anggapan tersebut tidaklah salah. Toko-toko online tidak membutuhkan konsumsi listrik sebesar pertokoan/pusat perbelanjaan offline. Selain itu, berbelanja secara daring juga dinilai dapat mengurangi besarnya tarikan pergerakan konsumen yang mengunjungi pusat perbelanjaan dengan berkendara, baik kendaraan pribadi maupun publik.
Sebagai ilustrasi, para kurir sebuah supermarket di Inggris rata-rata melakukan pengiriman ke 120 titik lokasi pengantaran dalam 1 kali rute perjalanan dengan total jarak 80 km, sehingga emisi karbon yang dihasilkan sebesar 20 kg CO2. Jika dibandingkan dengan 1 konsumen rumah tangga yang harus menempuh perjalanan untuk berbelanja ke sebuah supermarket dengan rata-rata total jarak pulang-pergi 21 km, maka emisi karbon yang dihasilkan bisa mencapai sebesar 24 kali lipat lebih banyak. Namun, pada kenyataannya persoalan layanan home delivery, yang diklaim sebagai faktor kunci bahwa aktivitas berbelanja secara daring lebih rendah karbon, justru sebenarnya tidak sesederhana itu. Pada banyak kasus, dalam proses pengiriman barang yang kita pesan secara daring, terkadang para kurir tidak langsung berhasil mengirim barang dalam 1 kali trip.
Misalnya, kurir salah mengambil rute jalan akibat alamat kirim yang kurang jelas atau konsumen sedang tidak ada di tempat ketika waktu pengantaran sehingga kurir harus kembali lagi ketika konsumen sudah di rumah, dan sebagainya. Akan tetapi, setiap kesalahan (error) pada trip pengiriman tersebut tentunya berkontribusi terhadap peningkatan jejak karbon, bukan? Selain itu, pernahkah Anda melakukan (atau setidaknya membayangkan) pemesanan barang secara daring dari berbagai toko online yang berbeda dalam waktu yang berdekatan dan kemudian mendapati kurir-kurir yang hilir mudik mengantarkan barang-barang yang Anda pesan dalam satu hari karena Anda memanfaatkan layanan pengantaran barang secara instan atau same-day delivery? Studi yang dilakukan oleh Weidel, seorang peneliti di Pusat Transportasi dan Logistik - MIT pada tahun 2013, menyatakan bahwa konsumen yang berbelanja online dengan memanfaatkan layanan pengiriman barang secara kilat atau konsumen yang memesan satu item barang dari toko online yang berbeda beda justru menjadi kontributor terbesar terhadap peningkatan jejak karbon.
Mengapa? Jika kita meminta layanan pengiriman barang yang secepat mungkin (misalnya: pengiriman instan, same-day delivery, dan sebagainya), distributor/toko online menjadi tidak memiliki waktu yang cukup fleksibel untuk efisiensi pengiriman barang-barang. Alih-alih menyortir dan menggabungkan barang-barang dalam satu truk/angkutan dalam satu kali rute pengantaran, distributor/toko online harus memprioritaskan pengiriman barang secepat mungkin. Hal ini berarti akan lebih banyak kendaraan angkutan/pengantaran barang yang beroperasi di jalan raya yang justru memperparah jejak karbon.
Peningkatan jejak karbon juga bisa meningkat jika konsumen justru memilih untuk melakukan pengembalian barang, misalnya karena kualitas barang yang diterima tidak sesuai deskripsi penjual, salah ukuran/warna, dan sebagainya. Berdasarkan studi yang dilakukan di Jerman, satu dari tiga barang yang dipesan secara daring dikembalikan kepada penjual/toko online. Pakaian merupakan salah satu produk yang memiliki tingkat pengembalian yang cukup tinggi.
Berbeda dengan berbelanja pakaian secara offline, memesan pakaian secara daring tidak memberikan kesempatan bagi konsumen untuk mencobanya terlebih dahulu sebelum membeli. Untuk itu, beberapa toko online menawarkan kemudahan berupa pengembalian tanpa biaya tambahan (gratis). Konsumen bisa membeli item pakaian yang sama dalam berbagai ukuran dan warna, lalu mencobanya di rumah dan mengembalikan pakaian yang tidak sesuai.
Namun, karena alasan biaya yang lebih mahal jika harus menyortir barang yang rusak setelah dikembalikan konsumen, toko-toko online pada beberapa kasus justru memilih untuk langsung membuang pakaian-pakaian tersebut (yang bisa saja masih dalam kondisi sempurna) ke tempat pembuangan sampah ataupun dibakar. Menurut penelitian lain di USA, terdapat barang-barang dengan total senilai US$ 326 juta yang dikembalikan/ditukar per tahun, yang pada akhirnya menjadi limbah/sampah seberat 2 milIar kg yang dibuang ke tempat pembuangan sampah dan menghasilkan emisi karbon sebanyak 13 ton CO2. Kontribusi aktivitas berbelanja secara daring terhadap peningkatan jejak karbon juga dapat dilihat dari meningkatnya sampah plastik yang dihasilkan oleh sektor e-commerce akibat banyaknya kemasan yang digunakan untuk pengiriman barang. Tidak sedikit para penjual di e-commerce yang memakai kemasan plastik yang berlapis-lapis, ditambah lagi dengan bubble wrap, selotip, bahkan styrofoam, sedangkan para konsumen tidak diberikan opsi untuk memilih kemasan yang lebih ramah lingkungan ketika memesan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2020, aktivitas belanja online di DKI Jakarta meningkat sebesar 62% selama pandemi Covid-19. Akibatnya, dapat dipastikan terjadi kenaikan permintaan akan plastik karena sebanyak 96% dari paket-paket barang belanja online tersebut menggunakan pembungkus berbahan plastik.
Secara teori, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sampah plastik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir memang tidak terlalu besar, namun sampah plastik membutuhkan waktu berabad-abad untuk dapat terurai. Sedangkan, pembakaran sampah plastik dapat melepaskan semua karbon yang tersimpan dalam plastik ke atmosfer, beserta polutan udara yang dapat merusak kesehatan manusia.
Dengan demikian, sepertinya ada beberapa prasyarat yang perlu kita jadikan bahan pertimbangan jika kita ingin mengurangi jejak karbon dari aktivitas berbelanja kebutuhan sehari-hari kita, baik secara daring maupun konvensional. Berbelanja online Bisa Pro-Diet Karbon Apabila....
Tidak menggunakan layanan pengiriman kilat. Jejak karbon dari aktivitas berbelanja secara daring dapat lebih rendah apabila kita selaku konsumen tidak terburu-buru dan bisa lebih bersabar untuk menunggu pesanan barang tiba di rumah. Memperhatikan jarak dengan lokasi agen/distributor. Pengiriman barang yang dipesan secara daring akan menjadi lebih menguntungkan bagi lingkungan, apabila jarak tempuh dari agen/distributor ke rumah kita cukup jauh. Bahkan, jika tersedia, kita dapat memilih untuk mengambil (pick-up) pesanan barang kita di gudang/toko-toko rekanan distributor yang terdekat dengan lokasi rumah kita.
Teliti sebelum memesan barang dan tidak berbelanja secara impulsif. Upayakan untuk betul-betul teliti membaca deskripsi barang beserta segala ketentuan dari penjual di e-commerce sehingga nantinya kita tidak perlu mengembalikan barang karena sudah sesuai dengan yang kita inginkan. Jangan terlalu cepat tergiur untuk membeli suatu barang hanya karena barang tersebut dapat dikembalikan secara gratis, terutama jika barang tersebut tidak terlalu kita butuhkan.
Kurir pengiriman barang menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan. Beberapa kota di Eropa memiliki perusahaan jasa pengiriman yang mengoperasikan kurir bersepeda untuk pengiriman makanan secara cepat yang menghasilkan zero emission dari restoran-restoran lokal. Di Indonesia pun beberapa perusahaan e-commerce di Indonesia, sudah mulai melakukan inovasi pada layanan pengiriman paket agar lebih rendah karbon, khususnya di wilayah Jabodetabek, yaitu dengan menggunakan kendaraan berbahan bakar listrik.
Konsumen diberikan opsi untuk memilih kemasan yang ramah lingkungan. Di tengah kesadaran masyarakat perkotaan yang semakin tinggi akan permasalahan degradasi lingkungan, utamanya terkait dengan limbah sampah plastik, tidak sedikit pembeli yang sebetulnya rela untuk membayar sedikit lebih mahal agar dapat ikut andil dalam melestarikan lingkungan. Untuk itu, para penjual di e-commerce sebaiknya mulai menyediakan opsi bagi konsumen untuk memilih kemasan yang ramah lingkungan, seperti kantong kertas (paper bag), tas kanvas, besek bambu sebagai pengganti boks plastik/styrofoam, dan sebagainya.
Berbelanja Secara Konvensional Bisa Pro-Diet Karbon Apabila...
Jarak tempuhnya relatif pendek. Jika barang yang diinginkan nyatanya tersedia di toko-toko skala lingkungan terdekat dengan lokasi rumah kita (kurang dari 3 km), maka akan lebih menguntungkan bagi lingkungan jika kita pergi langsung berbelanja di toko. Tidak menggunakan kendaraan bermotor. Jika berbelanja di toko-toko skala lingkungan, gunakanlah moda transportasi yang ramah lingkungan, seperti sepeda atau berjalan kaki.
Membawa tas belanja sendiri. Dengan memanfaatkan tas belanja sendiri, kita dapat berpartisipasi dalam mengurangi sampah plastik. Tas belanja yang kita bawa sendiri sesungguhnya lebih kuat dalam membawa barang-barang belanjaan kita dibandingkan kantong plastik yang cenderung tipis sehingga tidak perlu menggunakan beberapa lapis kemasan plastik. Secara umum, dapat dikatakan bahwa upaya diet karbon dari aktivitas berbelanja kebutuhan kita sehari-hari, baik secara daring maupun konvensional, merupakan persoalan yang kompleks. Namun, sebagai konsumen, preferensi sederhana sekalipun yang kita ambil dalam memilih cara berbelanja yang lebih ramah lingkungan sejatinya dapat menjadi aksi nyata kita bersama untuk membantu mengurangi jejak karbon demi menyelamatkan bumi kita tercinta dari ancaman bahaya perubahan iklim.(**)
*Penulis pegawai BPIW Kementerian PUPR, Juara 3 Karya Tulis PUPR Memperingati Hari Habitat dan Kota Dunia 2021