Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menyusun perencanaan yang mengadopsi mitigasi pengurangan risiko bencana di Kementerian PUPR.
Demikian terungkap dalam Diskusi Keterpaduan Pengembangan Infrastruktur PUPR dan Mitigasi Bencana di Kantor BPIW, Jakarta, Rabu (6/2).
Kepala Pusat Perencanaan Infrastruktur PUPR, BPIW Bobby Prabowo saat memberikan arahan mengatakan, perencaanaan dan program Kementerian PUPR perlu memuat hal yang tanggap risiko bencana, agar dapat melakukan pengurangan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu.
Kerugian tersebut, ungkapnya, dapat berupa kerusakan aset infrastruktur PUPR, kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
"Untuk mencapai hal tersebut, tentunya diperlukan strategi dalam penyelenggaran kegiatan sektor PUPR yang terpadu dan sinkron," ungkap Bobby.
Ia menambahkan, konsep strategi tersebut perlu tertuang dalam perencanaan jangka panjang dan jangka menengah yang berbentuk rencana pengembangan infrastruktur terpadu antarsektor, antartingkat pemerintah dan antarpulau. Apalagi, Bobby meyakini, Indonesia sebagai kawasan yang termasuk rawan bencana.
Di tempat yang sama, Pemerhati Kebencanaan, Gegar Prasetya menyetujui pendapat Bobby. Ia memaparkan, posisi Indonesia berada kepungan tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australian, Eurasia dan Lempeng Pasific.
"Apabila ketiga lempeng tektonik itu bertemu, dapat menghasilkan tumpukan energi yang memiliki ambang batas tertentu. Hal tersebut memicu terjadinya gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah," terangnya.
Selain itu, lanjutnya, posisi Indonesia juga berada pada Pasific Ring Of Fire atau cincin api, yakni jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia.
"Zona ini memberikan kontribusi hampir 90 persen dari kejadian gempa di bumi dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia," jelas Gegar. Kondisi tersebut, lanjutnya, menyebabkan Indonesia merupakan wilayah rawan bencana karena ancaman bencana cukup tinggi.
Di tempat yang sama, Arief Sabaruddin, Kepala Puslitbang Perumahan dan Permukiman, Kementerian PUPR mengatakan, saat ini komitmen pengembang atau masyarakat untuk mematuhi standar persyaratan ketahanan bangunan gedung terhadap bencana gempa masih relatif rendah.
Arief menyatakan, sebenarnya pemerintah telah menyediakan setidaknya 200 standar pembangunan setiap gedung agar aman. "Namun belum banyak yang berkomitmen untuk menggunakan semua standar tersebut pada praktik di lapangan," ungkapnya.
Artinya, lanjut Arief, ada kecenderungan energi pemerintah habis terkuras untuk menciptakan pedoman dan regulasi, namun pedoman dan regulasi yang sudah ada tidak dijalankan. "Jadi sebenarnya mitigasi bencana dari regulasi sudah ada. Tepatnya, dalam standar persyaratan ketahanan bangunan gedung terhadap bencana,” ujar Arief.
Arief mengatakan setidaknya terdapat empat standar yang menjadi prioritas yang berkaitan dengan ketahanan gempa. Keempat standar itu adalah SNI 1726: 2012, SNI 1726:2013, SNI 1729: 2015, dan SNI 2827:2013. Dari sisi regulasi, pengembang harus mematuhi regulasi yang berkaitan dengan strategi perencanaan pembangunan, yaitu Permen PU 29/PRT/M/2016 dan PU 26/PRT/M/2008.(ris/infoBPIW)