Peta Mikrozonasi Diperlukan Untuk Melihat Potensi Gempa

Layanan Informasi BPIW     |     26 Oct 2018     |     10:10     |     6267
Peta Mikrozonasi Diperlukan Untuk Melihat Potensi Gempa

Badan Pengembangan Infrastruktu Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR disarankan membuat peta mikrozonasi gempa. Peta tersebut berguna untuk melihat secara riil potensi gempa yang ada di permukaan tanah.  Hal itu disampaikan Prof. R. Arif Sabarudin dari Puslitbang Perumahan Permukiman, Balitbang s saat diskusi mengenai gempa di BPIW, Senin (21/10).

Mikrozonasi adalah salah satu teknik untuk membagi suatu zona yang besar menjadi zona-zona kecil dengan kriteria masing-masing zona akan berbeda tergantung tujuan zonasi itu sendiri.

Menurut Arif, salah satu yang dimuat dalam peta mikrozonasi adalah potret kondisi tanah bergerak dan jenis tanah di permukaan. Dengan demikian diketahui daerah mana yang dianggap zona merah atau daerah patahan.

“BPIW harus punya peta mikrozonasi ini, kalau bisa sampai desa-desa. Puslitbang Perumahan Permukiman sudah membuat pilot projectnya di Jakarta dan Padang. Tapi itu hanya uji coba yang digunakan untuk mengeluarkan pedoman peta mikrozonasi. Peta tersebut diperlukan untuk membuat bangunan diatasnya,” ujar Arif.

Pembuatan peta ini dapat memakan waktu lebih dari satu tahun, tergantung skala kota dan komplektifitas yang ada.

Prof. R. Arif Sabarudin juga menegaskan bahwa BPIW mempunyai andil besar dalam menyiapkan informasi untuk setiap unit organisasi tentang potensi gempa dan kemungkinan suatu struktur dapat hancur karena gempa bumi. Selain itu, perlu juga disiapkan rencana mitigasi bencana sebelum terjadinya bencana guna menghindari biaya yang sangat besar untuk rehabilitasi pasca bencana. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Kementerian PUPR dan BPIW perlu melakukan beberapa hal dalam rangka antisipasi terhadap bencana, yaitu pembuatan peta mikrozonasi dan potensi sesar aktif, pembuatan peta kerentanan bangunan terhadap gempa, serta perlu dibuatnya pedoman terhadap economic lost yang mungkin terjadi akibat adanya gempa.

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Perencanaan Infrastruktur PUPR, Bobby Prabowo menyatakan pembuatan peta tersebut dapat saja dilakukan BPIW, karena langkah ini merupakan antisipasi terjadinya kerugian harta dan nyawa bila terjadi gempa.

“Peta mikrozonasi yang kita buat, maka akan menjadi peringatan dini terutama daerah-daerah yang kemungkinan terjadinya gempa,” ujar Bobby yang didampingi Kepala Pusat Pemrograman dan Evaluasi Keterpaduan Infrastruktur PUPR, BPIW,  Iwan Nurwanto.

Dalam kesempatan itu, Prof. Mashur Irsyam dari Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia memaparkan secara tehnis terjadinya gempa dan likuifaksi. Dikatakannya bahwa seluruh pulau di Indonesia dapat terjadi gempa, kecuali Pulau Kalimantan, karena jauh dari pertemuan lempeng.  

“Kondisi tekstur tanah di Indonesia berada di plat Asia,  di mana plat Asia ini di bawah lempeng Australia yang masuk ke plat Asia dengan kecepatan 6 cm per tahun. Kemudian plat Pasifik juga bergerak ke arah barat dengan kecepatan   12 cm per tahun. Kemudian juga kita masuk di plat Filipina. Inilah yang yg menghasilkan kejadian-kejadian gempa salah satunya di Palu,” ungkapnya.

Ia berharap semua bangunan dapat tahan gempa. Selain itu bahaya likuifaksi juga diharapkan dapat diketahui sejak dini, sehingga dapat diantisipasi, agar menghindari terjadinya korban jiwa.

Prof Dr. Masyhur Irsyam, M.SE menyebutkan bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh dari BNPB, dampak bencana berupa rusaknya rumah dan hilangnya nyawa terbesar di Indonesia disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami, karena bersifat tidak dapat diperkirakan, tidak dapat dicegah, serta berpotensi besar untuk terjadi di Indonesia.

Sebagai penanggulangan, dibutuhkan adanya persiapan perencanaan bangunan tahan gempa. Perencanaan bangunan terhadap gempa dimulai dengan mencegah bahaya dengan tidak membangun di lokasi sesar, tidak membangun di lokasi rawan tsunami, tidak membangun di lokasi kelongsoran, serta memberikan perkuatan tanah terhadap likuifaksi. Setelah menghindari keempat poin tersebut, maka perlu dipersiapkan perencanaan bangunan yang tahan terhadap guncangan.

Adapun likuifaksi adalah kejadian dimana terdapat pergerakan tanah akibat sifat tanah yang berubah menjadi likuid. Likuifaksi terjadi di daerah dengan jenis tanah berpasir, jenuh, dan tidak padat, sehingga apabila terjadi pergerakan didalam tanah, sifat tanah dapat berubah seperti likuid. Hal inilah yang terjadi saat gempa mengguncang Palu. Kejadian gempa di Palu juga mengakibatkan terjadinya longsor, dan ground cracking.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya likuifaksi adalah dengan melakukan dynamic compaction, yaitu pemadatan tanah dengan menjatuhkan beban di beberapa titik. Hal ini juga yang dilakukan di Bandara Kulon Progo, Yogyakarta. (Hen/Mangapul/infobpiw)

 

Bagikan / Cetak:

Berita Terkait: