Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyelenggarakan Internalisasi Peningkatan Awareness Praktik Anti Gratifikasi. Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka Bulan Kepatuhan ini diikuti seluruh jajaran BPIW secara virtual, Jumat, 1 Juli 2022.
Kepala BPIW, Rachman Arief Dienaputra saat membuka kegiatan mengatakan, terselenggaranya kegiatan ini diharapkan akan memberi peningkatan pemahaman dan kesadaran terkait gratifikasi, sehingga seluruh insan BPIW akan senantiasa mampu melakukan pengendalian gratifikasi.
"Kegiatan ini juga merupakan bentuk komitmen BPIW dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih," ungkap Arief saat membuka kegiatan Peningkatan Awareness Praktik Anti Gratifikasi.
Di tempat yang sama, Sekretaris BPIW, Iwan Nurwanto menyampaikan, program pengendalian gratifikasi di BPIW sudah dimulai sejak 2021. Hal itu diperlihatkan dengan ditetapkannya Surat Keputusan Kepala BPIW Nomor 12/KPTS/KW/2021 tentang Pembentukan Tim Pengendalian Gratifikasi pada BPIW Tahun 2021-2024.
"Kemudian dilakukan penyusunan Road Map dan Timeline Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) BPIW tahun 2022," ujar Iwan. Ia menambahkan, untuk realisasi PPG di BPIW pada tahun 2022, antara lain berupa penetapan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengendalian Gratifikasi dan SOP Pelaporan Penerimaan/Pemberian Gratifikasi, konten anti gratifikasi atau unggahan di media sosial BPIW, kampanye anti gratifikasi dan anti suap.
Iwan juga mengatakan, saat ini masih ada kendala dalam pengendalian gratifikasi di BPIW. "Yakni kurangnya pemahaman pegawai terkait gratifikasi, sehingga menyebabkan rendahnya kesadaran pegawai untuk melaporkan penerimaan gratifikasi," terangnya.
Setelah kegiatan ini, lanjutnya, guna terus meningkatkan kesadaran dan pemahaman anti gratifikasi di jajaran BPIW pada September mendatang direncanakan ada pembuatan E-book anti gratifikasi, serta pada Desember 2022 akan dilakukan monitoring titik rawan pengendalian gratifikasi.
Sementara itu, narasumber Peningkatan Awareness Praktik Anti Gratifikasi yang juga Pemeriksa Gratifikasi dan Pelayanan Publik Madya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chrisna Adhitama mengatakan, dalam prakteknya gratifikasi merupakan salah satu penyebab rusaknya sistem pelayanan publik. Oleh sebab itu, gratifikasi perlu dikendalikan dengan memberikan pemahaman kepada penyelenggara negara.
Chrisna menjelaskan, gratifikasi menurut Pasal 12 B UU No.20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
Ia menjelaskan, adapun unsur-unsur gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU No.20 Tahun 2001, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara, menerima gratifikasi, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, penerimaan gratifikasi tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diterimanya gratifikasi.
Menurutnya, berdasarkan hasil survei partisipasi publik tahun 2019 bahwa hanya 37% dari responden segmen masyarakat yang mengetahui istilah gratifikasi dan hanya 13% responden dari segmen pemerintah yang pernah melapor terkait gratifikasi.
Menurutnya, sesuai UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi dan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh yaitu kerugian keuangan negara, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dan konflik kepentingan dalam pengadaan.
Chrisna mengingatkan, gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Sebab, gratifikasi mampu menimbulkan sikap mental pengemis. Secara tidak langsung menumbuhkan sikap tidak puas terhadap diri sendiri dan hedonis serta menghalalkan segala cara. “Tepatnya, agar dapat memuaskan dirinya/memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi walaupun harus menyalahgunakan wewenang, melanggar hukum dan dapat merugikan perekonomian/keuangan negara,” paparnya.
Adapun dampak adanya gratifikasi antara lain dapat mempengaruhi pejabat publik, menimbulkan diskriminasi layanan dan merusak sistem dan prosedur yang berlaku, sehingga visi, misi dan tujuan menjadi tidak tercapai.
Sementara itu, narasumber lainnya, Rotua Silitonga, Pemeriksa Gratifikasi dan Pelayanan Publik Muda, KPK mengakui, ada beberapa jenis gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan. Hal itu seperti berdasarkan Peraturan KPK Nomor 02 Tahun 2014 dan Nomor 06 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi.
Beberapa gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan oleh penyelenggara negara, antara lain honorarium. “Kalau Bapak/Ibu menjadi narasumber kegiatan di tempat kerja dan kemudian mendapat honorarium yang sesuai standar itu tidak perlu dilaporkan. Walaupun kami di KPK sudah menetapkan tidak boleh lagi menerima honorarium kegiatan di luar gaji bulanan” terangnya. Ia menambahkan, ada juga pemberian dari keluarga yang memiliki hubungan darah dan lainnya.(ris/infoBPIW)