Dalam empat dekade ini, populasi penduduk perkotaan meningkat 6 kali lipat, sehingga menimbulkan beberapa permasalahan perkotaan seperti backlog perumahan, timbulnya permukiman kumuh, banjir, kemacetan, meningkatnya kriminalitas serta disparitas yang semakin tinggi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dibutuhkan kerjasama yang kuat antar sektor, antar daerah, dan antar tingkat pemerintahan. Demikian disampaikan Kepala Pusat Pengembangan Kawasan Perkotaan BPIW Kementerian PUPR, Agusta Ersada Sinulingga, saat menjadi narasumber pada acara Focus Group Discussion (FGD) dalam Rangka Identifikasi Kota dalam Pengendalian dan Pengelolaan Pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP), di Yogyakarta, (11/4).
“Kota memiliki fungsi internal dan eksternal. Selain dituntut untuk dapat menyediakan infrastruktur dasar bagi masyarakat, sebuah kota juga dituntut untuk memenuhi fungsi eksternal untuk dapat melayani kebutuhan kota-kota di sekitarnya yang memiliki hierarki lebih kecil, sehingga perlu kerjasama lintas daerah,” tutur Agusta.
“Kementerian PUPR telah menerbitkan beberapa Peraturan Menteri yang memuat standar pelayanan minimal, dan pedoman pengelolaan infrastruktur PUPR, sehingga dapat digunakan sebagai input dalam menyusun Standar Pelayanan Perkotaan,” tambahnya.
Kegiatan yang diadakan Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Kementerian Dalam Negeri ini bertujuan menjaring aspirasi daerah terkait dengan Pengendalian dan Pengelolaan Standar Pelayanan Perkotaan, sehingga dapat mendorong strategi dan kebijakan pembangunan perkotaan yang berdaya saing dan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan RPJMN 2015-2019.
Kegiatan yang diadakan 10-12 April tersebut dibuka oleh Direktur Kawasan, Perkotaan dan Batas Negara, Budiono Subambang. Saat membuka acara tersebut, Budiono menyatakan bahwa dalam menyusun Rencana Pembangunan Daerah bidang Perkotaan, selain mempertimbangkan Standar Pelayanan Minimum (SPM), Pemerintah Daerah juga harus mempertimbangkan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) dalam mendukung kebijakan Nasional dengan memperkuat Penyelenggaraan Pengelolaan Perkotaan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“SPP memiliki perbedaan dengan SPM, karena SPM menyediakan infrastruktur pelayanan berdasarkan jumlah penduduk, sedangkan SPP mempertimbangkan fungsi, dan peran kota, sehingga tidak hanya berdasar pada banyaknya penduduk yang harus dilayani pada sebuah kota,” ungkapnya.
Penyusunan Standar Pelayanan Perkotaan menjadi bagian penting dalam perencanaan pembangunan perkotaan sebagai ukuran capaian penyediaan infrastruktur dengan pengukurannya sesuai klasifikasi dan tipologi perkotaan.
Acara yang dihadiri beberapa Bappeda dari kabupaten maupun kota ini, juga menghadirkan beberapa narasumber, seperti Hayu Parasati dari Kementerian PPN/Bappenas, Agus Sutanto dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Ir. Bambang, SP, MPS yang merupakan pakar perkotaan. Miqdam/infobpiw