Keberadaan Undang–undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan bentuk komitmen yang kuat dari negara untuk memposisikan rencana tata ruang (RTR) sebagai landasan bagi seluruh pelaksanaan pembangunan.
“Rencana tata ruang memiliki implikasi pada berbagai dimensi ruang, baik ruang darat, laut, maupun udara, termasuk di dalam bumi,” ungkap Sekretaris Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dadang Rukmana saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Pengaturan Pemanfaatan Ruang Laut dalam Muatan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang digelar Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) di Jakarta, pekan lalu.
Dadang mengatakan, dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 pengaturannya belum mencakup laut, namun tidak boleh diartikan UU tersebut tidak mencakup wilayah laut. Pasalnya, dalam Pasal 6 ayat 5 UU Nomor 26 Tahun 2007 menegaskan bahwa pengelolaan ruang udara dan ruang laut diatur oleh UU tersendiri.
“Undang-undang ini memberikan delivery untuk mengatur pengelolaan lebih lanjut. Dalam undang-undang tersebut direncanakan adalah Tata Ruang itu adalah wilayah. Adapun wilayah Indonesia adalah darat dan laut,” papar Dadang.
Kendati begitu, lanjutnya, pengaturan tata ruang tak boleh ada yang overlapping. Sebab, dalam implikasinya akan mempersulit pelaksanaan rencana tata ruang secara ideal. Untuk itu, lanjut Dadang, kalau ada rencana tata ruang yang overlapping harus dikembalikan pada sistem dasarnya. “Ikutilah yang membuat sistem bisa establish serta proses harmonisasi harus lebih kuat di antara lembaga negara yang ada,” tegasnya.
Dadang berharap, koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait dapat dilaksanakan dengan intens agar sinkronisasi mengenai rencana tata ruang semakin kuat. Kegiatan ini diikuti beberapa instansi seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. (rovina/infoBPIW)