
Memuat halaman...
Memuat halaman...
Kawasan yang menjadi proritas penanganan hingga tahun 2034 di Provinsi Jawa Tengah adalah Metropolitan Kedungsepur, PKN Cilacap, dan PKN Surakarta. Isu strategis yang mengemuka adalah Kota Semarang dan Kabupaten Demak memiliki risiko tertinggi karena keduanya merupakan muara DAS besar di Kedungsepur. Sama halnya dengan sistem sungai Semarang Barat dan sistem sungai Dolok Penggaron yang berpotensi rob dan land subsidence. Beberapa rencana aksi yang diusulkan dalam RPIW adalah pembangunan Bendungan bJragung, pembangunan intake dan transmisi Bendungan Jragung di Kabupaten Demak, pembangunan Bendungan Bodri di Kabupaten Kendal, serta pengendalian banjir.
Rencana aksi yang diusulkan dalam RPIW Provinsi Jawa Tengah telah sejalan dengan apa yang sedang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (DJSDA) saat ini. Pertama, pembangunan Bendungan Jragung, saat ini masih berprogres, ditargetkan selesai TA 2025. Bendungan ini merupakan salah satu dari target 61 bendungan dan juga merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 tahun 2023.
Kedua, terkait pembangunan intake dan transmisi air baku dari Bendungan Jragung merupakan salah satu yang menjadi perhatian kami. Jadi semua bendungan yang dibangun akan dilanjutkan dengan program pemanfaatannya, baik untuk irigasi, maupun untuk penyediaan air baku. Program penyediaan air baku Bendungan Jragung direncanakan pada tahun 2027 dengan output air baku 1 m3/dt.
Yang terakhir, untuk pembangunan Bendungan Bodrimerupakan salah satu dari target 11 bendungan baru pada periode 2020-2024. Pelaksanaannya diusulkan dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Hal ini sudah dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur (DJPI) sejak tahun 2021. Saat ini progresnya sedang dalam persiapan untuk penyiapan dokumen FBC (Final Business Case) oleh DJPI Dengan kapasitas tampung sekitar 41,82 juta m3, Bendungan Bodri nantinya diharapkan dapat mengairi irigasi seluas 8.861 Hektar, menyediakan air baku sebesar 500 liter/detik, dan mengendalikan banjir sebesar ±6,5 m3/detik.
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki isu strategis yang perlu ditangani terkait ketersediaan air, karena provinsi ini berada dalam status melampaui daya dukung air. Pengelolaan sumber daya air di Provinsi Kalimantan Timur memang dihadapkan pada tantangan tidak hanya dalam hal penyediaan air baku, juga dihadapkan pada isu perubahan tata guna lahan (banyaknya bekas area tambang yang belum tereklamasi dengan optimal, pembukaan hutan untuk lahan secara liar), sehingga jika tidak segera ditangani dapat mengakibatkan banjir di hilir serta meningkatkan potensi erosi dan sedimentasi di badan air.
Dengan ditetapkannya sebagian wilayah Penajam Paser Utara (PPU) sebagai wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN), dokumen pola pengelolaan SDA WS Mahakam juga mengalami penyesuaian, salah satunya dalam hal perhitungan upaya penyediaan air baku, selain untuk IKN sendiri, juga untuk Kabupaten PPU, Kota Balikpapan, dan kawasan penyangga IKN.
Untuk IKN sendiri, Direktorat Jenderal SDA sudah membangun Bendungan Sepaku Semoi yang berpotensi melayani air baku sebesar 2000 liter/detik dan intake Sungai Sepaku dengan kapasitas 3000 liter/detik. Dalam jangka panjang, pemenuhan air baku untuk IKN dapat dipenuhi dengan membangun Bendungan Batu Lepek dan Bendungan Selamayu.
Sementara untuk penyediaan air baku di Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan, rencananya akan dilakukan dengan memanfaatkan air Sungai Mahakam. Pada TA 2024 ini kami sedang melaksanakan Studi Kelayakan dan Basic Design Pembangunan Intake Mahakam. Berdasarkan informasi dari Pemerintah Kota Balikpapan, akan ada SPAM Regional Balikpapan yang dilaksanakan dengan skema KPBU dan mengintegrasikan sistem tersebut dengan sistem penyediaan air bakunya. Seperti yang diketahui Kota Balikpapan saat ini mengalami krisis air bersih.
Untuk kawasan-kawasan penyangganya, mungkin perlu didefinisikan dan didelineasi terlebih dahulu yang termasuk kawasan penyangga mana-mana saja. Pada prinsipnya kami mendukung pengembangan wilayah dari sisi penyediaan infrastruktur dasarnya, namun juga kami perlu diberikan arah kebijakan pengembangan wilayah-wilayah tersebut akan seperti apa.
Selain itu dari sisi kepariwisataan terutama yang berstatus Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Direktorat Jenderal SDA juga turut memberikan dukungan infrastruktur yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan. Beberapa rencana aksi yang diusulkan dalam RPIW atas isu strategis di Sulawesi Selatan diantaranya membangun bendungan untuk penyediaan kebutuhan air baku serta membantu pengaman pantai untuk kawasan wisata yang berisiko abrasi.
Dukungan Direktorat Jenderal SDA untuk pengembangan KSPN biasanya difokuskan pada penyediaan air baku, pengendalian banjir, dan pengamanan pantai dari abrasi pada beberapa KSPN yang memiliki lokasi destinasi berupa pantai. Salah satu bentuk dukungan infrastruktur SDA adalah penyediaan air baku untuk daerah Toraja telah pernah kami lakukan melalui peningkatan dan rehabilitasi Jaringan Air Baku Malillin Kab. Tana Toraja, dengan kapasitas 120 liter/detik.
Untuk KSPN Takabonerate penyediaan airnya masih dalam skala kecil, belum untuk menunjang sebagai kawasan wisata. Ini akan menjadi masukan pemrograman kami ke depan. Sementara untuk Kota Makassar, saat ini sudah terlayani, antara lain melalui Bendungan Bili-Bili sebanyak 2 m3/detik. Ke depannya, jika Bendungan Jenelata selesai, maka salah satu lingkup layanannya adalah Kota Makassar. Untuk pengamanan pantai di Makassar direncanakan secara bertahap sepanjang 1,5 km, dan ini mungkin kami juga harus sinkronkan lagi lokasinya dengan yang dimaksud pada dokumen RPIW.
Secara garis besar Rencana Aksi yang diusulkan dalam RPIW menjadi tantangan tersendiri bagi DJSDA, karena kita tahu RPIW merupakan hasil dari Konreg dan Musrenbangnas yang merupakan hasil pembahasan dengan banyak pihak dan disepakati saat itu, di mana belum ada constraint (batasan nilai-red) dalam hal anggaran atau pagu. Nah, menjadi menarik pada saat pagu atau anggaran yang disediakan dari Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan, tidak mencukupi, kami perlu melakukan penyesuaian.
Penyesuaian tentunya dilakukan dengan menentukan prioritas, karena selain mengakomodir RPIW, hasil Konreg, hasil Musrenbangnas, dll, seringkali ada beberapa direktif atau arahan baru yang tidak atau belum masuk ke dalam rencana pemrograman sebelumnya. Ada lagi beberapa program yang berlanjut dari tahun sebelumnya atau merupakan kontrak tahun jamak, sehingga merupakan anggaran yang mengikat.
Untuk mengawal agar arahan program RPIW dapat terimplementasi dengan optimal, ada beberapa hal yang kami lakukan, seperti:
Mengingat setiap direktorat jenderal mempunyai arahan kebijakan sesuai dengan sektor masing-masing, maka perlu kolaborasi dengan direktorat jenderal Iain di Kementerian PU. Kolaborasi ini juga merupakan tantangan tersendiri, contohnya dalam hal integrasi program penyediaan air baku dengan program air bersih misalnya. Tiap tahun sudah dilakukan sinkronisasi antara kedua direktorat jenderal untuk membahas kebutuhan, kesiapan, dan menyepakati lokasi prioritas yang akan diprogramkan pada tahun perencanaan.
Permasalahan muncul pada saat pagu yang dialokasikan tidak sesuai dengan rencana, sehingga harus dilakukan penentuan prioritas. Pada penentuan prioritas ini seringkali menjadi mengubah hasil sinkronisasi yang sudah disepakati. Memang kolaborasi dan integrasi pemrograman antar-sektor ke depan perlu untuk ditingkatkan. BPIW sebagai koordinator program mungkin dapat memfasilitasi hal-hal seperti ini, termasuk juga dibutuhkan kolaborasi dan integrasi dengan Kementerian Iainnya.
Kami menyambut baik adanya RPIW sebagai pemadu pemrograman antara 4 (empat) Unit Organisasi teknis di Kementerian PU. Sesuai dengan harapan Bapak Menteri PU bahwa infrastruktur yang dibangun harus bermanfaat untuk masyarakat. Dengan keterpaduan pemrograman, maka harapan Bapak Menteri tersebut akan lebih efektif tercapai, semua dipadukan dalam kerangka pembangunan wilayah.
Besar harapan kami agar RPIW dapat menjadi acuan integrasi program di Kementerian PU, sehingga infrastruktur yang dibangun dapat memberikan manfaat yang optimal, tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan wilayah.
Untuk itu, ke depan BPIW diharapkan dapat mereviu kembali program-program yang menjadi rencana aksi RPIW, dengan mempertimbangkan:
Sektor industri terus menjadi andalan perekonomian Indonesia, memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja sector ini, salah satu strategi utama yang dilakukan adalah melalui pengembangan wilayah industri, termasuk pembangunan Kawasan Industri (KI).
Sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, kegiatan industri diwajibkan berlokasi di kawasan industri. Hal ini menjadikan kawasan industri sebagai solusi strategis untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan konsep ini dapat dilihat di daerah seperti Morowali, Konawe, dan Halmahera Tengah, di mana kontribusi sektor industri melonjak pesat setelah berdirinya kawasan industri.
Karena peran pentingnya, pemerintah telah menetapkan 52 Kawasan Industri Prioritas untuk periode 2019–2024. Kawasan-kawasan ini termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Penetapannya didasarkan pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dengan fokus pada pengembangan wilayah berbasis potensi sumber daya dan infrastruktur.
Pengembangan kawasan industri difokuskan pada Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI), yaitu wilayah dengan konektivitas tinggi dan infrastruktur kuat yang dirancang untuk memperkuat hubungan ekonomi regional. Saat ini terdapat 22 WPPI, dan pemerintah berencana menambah tujuh wilayah baru berdasarkan perkembangan industri di tiap daerah. Kawasan di Pulau Jawa difokuskan pada industri berbasis teknologi tinggi, padat karya, dan hemat air.
Contoh suksesnya adalah Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang di Jawa Tengah yang telah terisi penuh untuk tahap pertama seluas 450 hektare. Dukungan infrastruktur seperti pelabuhan masih dibutuhkan untuk menarik lebih banyak investor. Di Kendal, kawasan industri telah berkembang menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dengan tingkat okupansi mencapai 80% pada tahap pertama seluas 1.000 hektare. Pengembangan tahap selanjutnya masih membutuhkan infrastruktur pendukung untuk menghadapi lonjakan tenaga kerja. Sementara itu, Kawasan Industri di luar Pulau Jawa diarahkan untuk pengembangan industri berbasis hilirisasi sumber daya alam dan menciptakan pusat ekonomi baru.
Di Kalimantan Timur, Kawasan Industri Buluminung dan Kariangau diarahkan untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Walaupun belum masuk dalam RPJMN atau PSN, kawasan ini memiliki potensi besar dengan rencana pengembangan industri kimia, energi rendah karbon, dan logistik.
Di Sulawesi Selatan, fokus pengembangan diarahkan pada industri logam, dengan Kawasan Industri Bantaeng menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional. Kawasan ini memerlukan dukungan infrastruktur logistik agar dapat berkembang lebih cepat dan terhubung dengan wilayah lain.
Tantangan pengembangan kawasan industri meliputi isu pertanahan, tata ruang, infrastruktur, energi, lingkungan, hingga tata kelola. Untuk mengatasinya, Kementerian Perindustrian terus berkoordinasi dengan kementerian/ lembaga terkait, termasuk Kementerian PUPR, melalui forum dan musyawarah perencanaan pembangunan.
Kami optimis, dengan sinergi dan dukungan yang solid dari semua pihak, pembangunan kawasan industri dapat berjalan optimal dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di seluruh Indonesia.(**)
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam pembangunan nasional. Menurut Direktur Regional II Kementerian PPN/Bappenas, Mohammad Roudo, evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas terhadap kinerja pembangunan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 menunjukkan bahwa secara garis besar telah menunjukkan hasil yang baik. Bahkan, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu agenda dari 7 prioritas nasional dalam RPJMN 2020-2024 yaitu Agenda Prioritas Ke-5 yaitu Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar telah banyak dikontribusikan oleh peran strategis Kementerian PUPR.
Sejumlah pencapaian penting pembangunan infrastruktur telah diraih, seperti peningkatan akses terhadap air bersih, listrik, dan layanan sanitasi, serta pembangunan jalan, jembatan, dan jaringan transportasi yang memudahkan arus barang dan orang antarwilayah. Sebagian besar pembangunan infrastruktur terutama terkait pelayanan dasar serta konektivitas yang menjadi backbone yang telah terbangun saat ini banyak didukung oleh Kementerian PUPR. Pembangunan infrastruktur pelayanan dasar dan konektivitas wilayah berperan penting dalam memperkuat fondasi ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Salah satu contoh peran strategis Kementerian PUPR dalam pembangunan infrastruktur yang cukup masif yakni pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Kami melihat dalam 2 tahun terakhir dukungan pembangunan infrastruktur yang dikoordinasikan oleh Kementerian PUPR dalam menyiapkan infrastuktur dasar, perkantoran dan hunian di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan di IKN sudah sangat maksimal dan sejalan dengan perencanaan yang telah disusun. Pembangunan infrastruktur strategis di IKN yaitu pembangunan Bendungan Sepaku Semoi dapat dimanfaatkan untuk menjamin penyediaan air di kawasan tersebut.
Kemudian, masih terdapat tantangan pembangunan infrastruktur di daerah, terutama terkait dengan pemerataan akses infrastruktur, khususnya di daerah perbatasan maupun daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang juga menjadi bagian dari isu strategis daerah. Jika kawasan yang terisolir tidak dibuka, maka sulit mewujudkan harapan untuk melakukan pemerataan pembangunan, dan penurunan kemiskinan. Oleh karena itu, pembangunan konektivitas menjadi sangat penting untuk dapat membuka kawasan yang terisolasi dan harus tetap menjadi perhatian pemerintah. Pembangunan infrastruktur juga diarahkan untuk mendukung berbagai program prioritas pemerintah, sebagai contoh program food estate di Kalimantan Tengah, program hilirisasi industri berbasis mineral di Wilayah Sulawesi, serta program pembangunan sektor pariwisata di Wilayah Nusa Tenggara.
Seluruh program prioritas pemerintah tersebut masih menjadi agenda bersama pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan kewilayahan seperti infrastruktur yang menghubungkan simpul-simpul transportasi seperti jalan nasional yang menghubungkan terminal, pelabuhan dan bandara internasional. Melihat tantangannya yang cukup banyak, maka kami di Bappenas sangat membutuhkan dukungan, kolaborasi dan sinergi khususnya dari Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) serta unit organisasi terkait di Kementerian PUPR.
Bappenas bersama seluruh pemangku kepentingan telah menyusun dokumen perencanaan jangka panjang yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, dengan visi “Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Bersatu Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan" yang sekaligus sebagai langkah strategis mencapai Visi Indonesia Emas 2045, mewakili cita-cita dan mimpi 100 tahun Indonesia merdeka. RPJPN 2025-2045 merupakan “haluan” yang menjadi pedoman arah pembangunan Indonesia dalam 20 tahun ke depan yang memerlukan orkestrasi upaya pembangunan dari seluruh pelaku pembangunan, baik pemerintah maupun non pemerintah, agar sejalan, selaras, dan terpadu.
Sesuai dengan Visi Indonesia Emas 2045 dalam RPJPN, terdapat 5 sasaran utama Pembangunan tahun 2045, yang pertama adalah pencapaian pendapatan per kapita Indonesia setara negara maju. Untuk itu, jebakan middle income trap harus diatasi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, minimal sebesar 6-7 persen per tahun. Sasaran kedua, tingkat kemiskinan menuju 0% dengan ketimpangan yang semakin berkurang baik antar kelompok pendapatan maupun antar wilayah Timur dan Barat Indonesia. Sasaran ketiga, meningkatnya kepemimpinan Indonesia dan pengaruhnya di dunia internasional.
Kemudian, sasaran keempat yakni daya saing sumber daya manusia yang terus meningkat, serta kelima, intensitas emisi Gas Rumah Kaca yang menurun menuju Net Zero Emission. Sasaran yang cukup ambisius tersebut tentu saja harus kita sikapi dengan sungguh-sungguh dan ditindaklanjuti dengan sinergi yang kuat antar pusat dan daerah serta pemangku kepentingan lainnya, lintas wilayah dan lintas sektor.
Untuk mencapai berbagai target tersebut, maka dukungan pembangunan infrastruktur menjadi hal yang sangat penting. Masih belum optimalnya pembangunan infrastruktur dasar seperti sanitasi dan pengolahan sampah sampai dengan saat ini tetap perlu memperoleh dukungan dalam pelaksanaan RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029 selanjutnya. Di sisi lain pembangunan infrastruktur, juga diutamakan dalam mendukung konektivitas untuk menghubungkan kawasan-kawasan yang dapat mendorong pertumbuhan seperti kawasan industri serta wilayah yang dapat menjadi pusat pertumbuhan baru.
Terkait Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW) yang menjadi produk BPIW Kementerian PUPR, maka RPIW tersebut harus berpedoman pada RPJPN dan RPJMN. RPIW menurutnya dapat menjadi bridging atau menjembatani target-target Visi Indonesia 2045, yaitu menjembatani hal-hal yang bersifat makro menjadi yang sifatnya implementable atau program kegiatan yang dapat diterapkan unit organisasi terkait di Kementerian PUPR. Hal ini dicontohkan melalui ilustrasi rencana di sektor pertanian. Target swasembada pangan harus disinkronkan dengan kebutuhan perencanaan pembangunan bendungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dan kebutuhan dukungan konektivitas logistik pertanian yang dapat didukung oleh Direktorat Jenderal Bina Marga. Selanjutnya sinkronisasi ini dapat dirumuskan melalui penyusunan RPIW yang lebih rinci mengacu pada sasaran-sasaran pembangunan yang diamanatkan dalam RPJPN dan RPJMN. Agar sasaran yang cukup ambisius tersebut dapat tercapai menurutnya perlu ada dukungan perumusan dan perencanaan program infrastruktur Kementerian PUPR.
Kami di Bappenas merumuskan strategi perencanaan pengembangan wilayah, dan kebutuhan dukungan pembangunan infrastruktur yang diterjemahkan ke dalam rencana pengembangan wilayah tentunya perlu ada peran dan kolaborasi bersama BPIW melalui penyusunan RPIW. Misalnya kawasan di Provinsi Kalimantan Tengah yang didorong menjadi sentra produksi pangan dan pusat konservasi internasional. Ketika sudah ditetapkan arah dan strategi kebijakannya, maka Kementerian PUPR dapat merumuskan infrastruktur yang dibutuhkan.
Contoh lain adalah Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, yang merupakan kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah membutuhkan dukungan konektivitas untuk menghubungkan kawasan strategis sampai dengan pelabuhan atau simpul lainnya, maka disitulah fungsi RPIW sebagai acuan dalam memberikan arahan kepada Direktorat Jenderal Bina Marga untuk memastikan perencanaan dan realisasi pengembangan konektivitas tersebut. Jadi intinya memastikan kebutuhan infrastruktur di suatu wilayah sejalan dengan prioritas RPJPN dan RPJMN.
Tentunya dalam merumuskan RPIW yang berpedoman kepada RPJPN dan RPJMN perlu dilakukan secara sistematis dan partisipatif. Apresiasi terhadap pelaksanaan Rapat Koordinasi Pengembangan Wilayah (Rakorbangwil) dan Konsultasi Regional (Konreg) oleh BPIW Kementerian PUPR dalam rangka perencanaan pembangunan infrastruktur untuk memastikan konsistensi antara rencana yang dituangkan di dalam RPJPN dan RPJMN dengan rencana pembangunan infrastruktur wilayah oleh Kementerian PUPR serta rencana Kementerian/Lembaga lainnya bahkan dengan rencana daerah. Perencanaan harus tersambung dan BPIW Kementerian PUPR perlu memastikan hal tersebut dalam penyusunan RPIW dalam aspek infrastruktur KePUPR-an.
Dalam konteks sinergi perencanaan kewilayahan, Bappenas memiliki harapan besar kepada BPIW Kementerian PUPR melalui RPIW dapat menterjemahkan Visi Indonesia Emas 2045 serta agenda jangka menengah pemerintahan saat ini. Disampaikan pula bahwa peran BPIW cukup selaras dengan peran Kedeputian Bidang Pengembangan Regional yang menerjemahkan visi besar ke dalam rencana pembangunan masing-masing wilayah. Disamping fungsi koordinasi dan perencanaan, menurutnya, BPIW nantinya melalui RPIW memiliki “dukungan lebih” atau “kewenangan lebih” untuk memastikan unit organisasi di Kementerian PUPR mengikuti rencana pembangunan yang disusun oleh BPIW yang merupakan penerjemahan dari RPJPN dan RPJMN. BPIW harus bisa mengarahkan unit organisasi di Kementerian PUPR agar sesuai dengan arahan pengembangan wilayah yang sudah disepakati, entah itu sifatnya budgeting atau sifatnya programming. Jadi kalau perencanaan infrastruktur belum dirumuskan BPIW melalui RPIW, maka baiknya unit organisasi lain tidak menjalankan untuk menjamin keselarasannya.
Terkait hal ini, BPIW punya kekuatan untuk bisa “mengarahkan” dalam pembangunan infrastruktur Ke-PUPR-an. Hal tersebut, apabila dikolaborasikan dengan tugas dan fungsi Bappenas yang berperan dalam memastikan seluruh program dan kegiatan di Kementerian/Lembaga sejalan dengan visi misi presiden dan wakil presiden, maka harapan pencapaian sasaran pembangunan akan lebih optimis dapat tercapai. BPIW harus memastikan perencanaan dan pembangunan infrastruktur dapat berjalan efektif, efisien, serta sekaligus meningkatkan stok infrastruktur melalui dokumen RPIW.
Provinsi Daerah Otonom Baru (DOB) Papua Barat Daya