Urbanisasi dan Perencanaan Kota Turut Mempercepat Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi
Urbanisasi saat ini menjadi salah satu peluang untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi. Beberapa riset
dan studi praktis menunjukkan antara pembangunan ekonomi dan urbanisasi mempunyai keterkaitan erat.
Hal itu diungkapkan Kepala Badan BPIW Kementerian PUPR, Hadi Sucahyono dalam "Sharing Session:
Rethingking Urban Planning and Infrastructure Development Approach in Post Covid-19 Era" di
Tangerang Selatan, Senin 26 April 2020. Kegiatan ini tersambung juga secara virtual.
Hadir pada diskusi tersebut Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas yang juga Sekretaris Tim
Kajian Ibu Kota Negara (IKN) Kementerian PPN/Bappenas, Hayu Parasati serta Ahli Perkotaan, Wicaksono
Sarosa.
Hadi menambahkan, urbanisasi merupakan isu perkotaan yang tidak dapat dihindari, melainkan dapat
dikelola. Salah satu cara yang dilakukan Kementerian PUPR dalam hal ini adalah dengan dengan
menyediakan infrastruktur perkotaan yang layak dan cukup secara kualitas maupun kuantitas.
"Kementerian PUPR akan mendukung untuk terwujudnya infrastruktur yang layak di sana," ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa urbanisasi tidak sepenuhnya berdampak negatif. "Saat ini data menunjukan 1%
tren urbanisasi meningkatkan 1,4 % pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan, 1% tren urbanisasi di
China, menumbuhkan 3% ekonomi nasional negaranya," terang Hadi sambil menambahkan, urbanisasi jika
dikelola dengan baik makan dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi.
Terkait pandemi Covid-19, Hadi menyatakan, peristiwa tersebut menimbulkan peningkatan angka
pengangguran, angka kemiskinan. "Untuk turut mengatasi hal itu, Kementerian PUPR melakukan program
padat karya. Yang salah satu tujuannya untuk tetap menjaga daya beli masyarakat," terang Hadi.
Hayu Parasati mengatakan, pandemi Covid-19 ini makin mendesak perubahan dalam pembangunan perkotaan.
"Kita tidak bisa lagi melakukan pembangunan seperti biasanya," terang Hayu.
Apalagi untuk Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, khususnya di kawasan
metropolitan seperti Jabodetabekpunjur, Bandung Raya, Gerbangkertosusila, Kedungsepur, Mamminasata
dan lainnya.
"Pada kawasan itu polusi udara, air dan tanah, diperburuk dengan meningkatnya suhu udara area
perkotaan, kelangkaan ruang perkotaan untuk pesepeda, pejalan kaki, dan ruang publik untuk
beraktivitas aktif, hal ini mendorong rentannya kota-kota ini terhadap pandemi," terang Hayu.
Hayu menerangkan, untuk menciptakan kota yang berketahanan, smart, green, resilient harus harus
dilakukan perencanaan kota terintegrasi.
Ia menerangkan, penerapan konsep di Ibu Kota Baru, antara lain aktivitas fisik, pangan sehat,
edukasi dan perilaku hidup sehat, lingkungan sehat, serta ada deteksi dini. Hal ini dapat mendorong
terwujudnya kualitas hidup lebih baik.
Wicaksono Sarosa mengatakan, Covid-19 awalnya merupakan masalah kesehatan, namun kemudian
berimplikasi terhadap semua bidang.
"Pandemi ini juga mengajarkan, kedepan akan banyak hal yang tidak bisa diantisipasi, ketidakpastian
pun semakin tinggi. Namun tetap harus disikapi dengan positif," terang Wicaksono.
Menurutnya, Kota memang merupakan episentrum pandemi yakni dengan sekitar 90% kasus dilaporkan
terjadi di kota. Namun, kota juga berpotensi menjadi titik balik kebangkitan pasca pandemi.
Ia menerangkan, perencanaan kota jaman dulu komprehensif dan jangka panjang. "Sekarang tak bisa lagi
hanya itu, karena banyak ketidakpastian itu. Untuk era sekarang perencanaan kota yang dibutuhkan itu
tetap punya visi jangka panjang, namun harus ada incremental yang rinci akan tahap bertahapnya,"
tegasnya.
Sharing ini juga diwarnai diskusi dari peserta, terutama terkait pengembangan ibu kota negara baru
pasca pandemi ini.(ris)