
Memuat halaman...
Memuat halaman...
1 Artikel
Secara global, imbas parah dari manifestasi krisis iklim sudah semakin destruktif dan meluas dirasakan di berbagai belahan dunia. Meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian bencana, seperti kekeringan, kebakaran hutan, dan banjir, nyatanya telah banyak menelan korban jiwa, mengganggu stabilitas perekonomian, serta bahkan menghambat kemajuan pembangunan yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Berdasarkan temuan dalam laporan yang disusun oleh UNOPS (2021), infrastruktur berkontribusi sebesar 79% dari total emisi GRK, serta 88% dari total biaya adaptasi perubahan iklim. Lebih lanjut, infrastruktur juga dinilai dapat mempengaruhi capaian keseluruhan 17 target SDGs sebesar 92%, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, data-data statistik tersebut memberikan seruan untuk menempatkan sektor infrastruktur sebagai sektor prioritas untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta pembangunan berkelanjutan.
Komitmen Indonesia dalam Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim
Setelah meratifikasi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia terus berupaya memutakhirkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point Indonesia untuk UNFCCC telah beberapa kali mengkomunikasikan dokumen NDC (Nationally Determined Contributions) Indonesia kepada UNFCCC. Terkini, melalui dokumen Enhanced NDC Indonesia pada bulan September 2022 yang lalu, Indonesia telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi GRK di tahun 2030 dari sebesar 29% menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri. Jika dengan dukungan internasional, targetnya dinaikkan dari sebesar 41% menjadi 43,2%, pada sektor-sektor mitigasi bidang: (i) Energi (15.5%); (ii) Limbah (1.5%); (iii) Industri (0.3%); (iv) Pertanian (0.4%); serta (v) Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (25.4%). Pemutakhiran target tersebut didasarkan pada perkembangan kebijakan nasional dan sektoral terkait penanganan perubahan iklim, salah satunya yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang di dalamnya juga mengatur tentang pasar karbon. Perpres NEK ini menandai langkah awal Indonesia dalam berkontribusi untuk penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) yang diharapkan dapat menggerakkan lebih banyak lagi pembiayaan dan investasi hijau yang tentunya dapat berdampak pada pengurangan emisi GRK. Selain itu, telah disusun pula dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang memuat arahan jangka panjang untuk implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menuju target net-zero emissions Indonesia 2060 atau lebih cepat, beserta komitmen NDC per 5 (lima) tahunan selanjutnya.
Sebagai upaya memastikan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim betul-betul dilakukan secara terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional, Kementerian PPN/ Bappenas mengintegrasikan konsep Pembangunan Rendah Karbon dan Pembangunan Berketahanan Iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025-2029 dengan menjadikan target penurunan intensitas emisi GRK menuju net-zero emissions sebagai salah satu sasaran utama untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045, yaitu sebanyak 93,5 persen hingga tahun 2045. Lebih lanjut, dalam Rancangan Awal RPJMN 2025-2029, resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim menjadi salah satu sasaran utama dalam Prioritas Nasional ke-8, dengan target berupa penurunan proporsi kerugian ekonomi langsung akibat bencana relatif terhadap PDB, serta penurunan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim terhadap PDB pada 4 (empat) sektor prioritas (kelautan & pesisir, air, pertanian, dan Kesehatan).
Dengan telah diintegrasikannya komitmen Indonesia untuk makin berkontribusi dalam menjaga suhu global dan ketahanan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional, perencanaan sektoral dituntut untuk lebih berorientasi pada pembangunan rendah karbon, berketahanan iklim, dan berkelanjutan, termasuk sektor infrastruktur PU.
Dalam konstelasi kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim tersebut, terdapat beberapa bidang/sektor prioritas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia yang membutuhkan dukungan dan kontribusi Kementerian PU (Lihat Gambar 1). Untuk upaya mitigasi perubahan iklim, dukungan dan kontribusi Kementerian PU diperlukan pada 3 (tiga) sektor/bidang prioritas, yaitu: energi; limbah; serta kehutanan, gambut, dan perubahan penggunaan lahan. Sedangkan, untuk adaptasi perubahan iklim, Kementerian PU berperan sebagai K/L kunci pada sektor air, serta turut berkontribusi pada sektor/bidang prioritas: pangan, energi, kesehatan, serta kelautan & pesisir. Melihat begitu besarnya peran infrastruktur PU dalam upaya pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, sepertinya tidak ada alasan lagi bagi Kementerian PUPR untuk tidak memberikan dukungan dan kontribusi aksi iklim yang lebih ambisius, terutama pada sektor/bidang prioritas air.
Kiprah Kementerian PU dalam Aksi Iklim
Sejalan dengan komitmen Indonesia dalam merespon isu perubahan iklim, Kementerian PU telah berupaya untuk ikut berkontribusi dalam upaya pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Untuk mengadopsi prinsip pembangunan infrastruktur berkelanjutan, Kementerian PU telah menerbitkan Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman penyelenggataan Konstruksi Berkelanjutan. Terkait pembangunan gedung hijau (green building), penerapan pembangunan infrasturuktur PU telah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau.
Beberapa contoh penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan untuk infrastruktur PU dalam mendukung upaya pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim antara lain:
• Sektor Sumber Daya Air
• Sektor Jalan
Konektivitas Jalan Tol memiliki manfaat besar khususnya dalam peningkatan perekonomian, sehingga perlu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan berkelanjutan sejak tahap perancangan, pembangunan, pengoperasian, hingga tahap pemeliharaan. Melalui proses sertifikasi Green Toll Road Indonesia yang dilakukan oleh Green Infrastucture and Facilities Indonesia, Jalan Tol Gempol - Pandaan dan Jalan Tol Pandaan – Malang mendapatkan sertifikat Green Toll Road Indonesia. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan jalan tol, Kementerian PU setiap tahunnya melakukan penilaian terhadap kualitas layanan di seluruh ruas jalan tol, berdasarkan 3 (tiga) aspek penilaian jalan tol berkelanjutan yaitu: fungsi utama jalan tol, fungsi pendukung di rest area, serta fungsi pelengkap di rest area sebagaimana tertuang dalam Permen PUPR Nomor 16 Tahun 2014 Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol dan Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2021 tentang Tempat Istirahat dan Pelayanan Pada Jalan Tol.
• Sektor Permukiman
Rekomendasi Pengarusutamaan Aksi Iklim dalam Perencanaan Infrastruktur PU Jangka Menengah 2025-2029
Sebagai upaya implementasi kebijakan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang tertuang dalam RPJPN 2025-245 dan RPJMN 2025-2029, pengarusutamaan aksi iklim dalam perencanaan infrastruktur PU dapat dilakukan melalui pendekatan co-benefits. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat berperan mengubah konstelasi perencanaan untuk suatu pembangunan infrastruktur rendah karbon dan berketahanan iklim karena memiliki dua atau lebih manfaat kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung. Pemahaman mengenai co-benefits juga dapat mendorong sinergitas antar pemangku kepentingan yang terlibat dalam menghasilkan kebijakan, rencana dan/atau desain infrastruktur rendah karbon dan berketahanan iklim yang lebih integratif. Selain itu dari sisi masyarakat, mengakumulasikan co-benefits juga dapat mengurangi resistensi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait penanganan perubahan iklim ketika dapat memberikan manfaat tambahan yang lebih nyata dan menyentuh kebutuhan hidupnya sehari-hari. Rekomendasi pengarusutamaan aksi iklim dalam perencanaan infrastruktur PU jangka menengah 2025-2029 dijabarkan dalam matriks berikut:
Rekomendasi Pengarusutamaan Aksi Iklim untuk Infrastruktur PU
Sebagai upaya implementasi kebijakan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang tertuang dalam RPJPN 2025-245 dan RPJMN 2025-2029, pengarusutamaan aksi iklim dalam perencanaan infrastruktur PU dapat dilakukan melalui pendekatan co-benefits. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat berperan mengubah konstelasi perencanaan untuk suatu pembangunan infrastruktur rendah karbon dan berketahanan iklim karena memiliki dua atau lebih manfaat kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung.
Pemahaman mengenai co-benefits juga dapat mendorong sinergitas antar pemangku kepentingan yang terlibat dalam menghasilkan kebijakan, rencana dan/atau desain infrastruktur rendah karbon dan berketahanan iklim yang lebih integratif. Selain itu dari sisi masyarakat, mengakumulasikan co-benefits juga dapat mengurangi resistensi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait penanganan perubahan iklim ketika dapat memberikan manfaat tambahan yang lebih nyata dan menyentuh kebutuhan hidupnya sehari-hari. Rekomendasi pengarusutamaan aksi iklim dalam perencanaan infrastruktur PU jangka menengah 2025-2029 dijabarkan dalam matriks di samping:
Penutup
Pembangunan infrastruktur PU memegang peranan yang sangat penting untuk melayani dan memfasilitasi masyarakat dalam meningkatkan ekonomi dan kualitas hidupnya, sekaligus mencegah terus meningkatnya produksi emisi GRK penyebab pemanasan global. Transformasi pembangunan infrastruktur PUPR yang rendah karbon tengah diupayakan melalui penyelenggaraan konstruksi berkelanjutan dan penerapan prinsip Bangunan Gedung Hijau yang telah diwujudkan pada sejumlah proyek-proyek percontohan (pilot projects) seperti pembangunan Gedung Kantor Kementerian PUPR, pasar tradisional, serta rumah susun hemat energi. Namun, upaya transformasi pembangunan infrastruktur PU ini juga harus dipastikan tangguh terhadap dampak perubahan iklim yang sudah tak terelakkan lagi dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat dan destruktif.
Untuk itu, skenario perencanaan infrastruktur PU jangka menengah 2025-2029 bukan hanya untuk menjawab layanan infrastruktur PU apa yang diperlukan di suatu kawasan/wilayah perencanaan, namun lebih pada bagaimana menyediakan infrastruktur PU secara tangguh, berkelanjutan, dan kompatibel dengan masa depan yang bebas karbon. Jangan lagi melakukan perencanaan keterpaduan pembangunan infrastruktur PU yang ‘business as usual’ tanpa memikirkan keterkaitan dampak dan pengaruhnya pada aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan.(**)