
Memuat halaman...
Memuat halaman...
Kementerian Pertanian memiliki pendekatan teknoratik infrastruktur untuk pengembangan lokus pertanian di kawasan pertanian Bone-Wajo-Sidrap-Pinrang di Sulsel dan Jateng sebagai lumbung padi terbesar kedua di Indonesia.
Berdasarkan visi-misi presiden terpilih yang telah diterjemahkan dalam RPJMN, maka pendekatan teknokratik yang digunakan sebagai dasar pembangunan pertanian ke depan adalah pertanian tidak lagi dilihat sebatas kegiatan untuk memproduksi bahan mentah, tetapi juga diarahkan untuk pada penciptaan nilai tambah dan hilirisasi yang terintegrasi.
Pendekatan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pusat-pusat industri pengolahan secara merata di Indonesia dan pada gilirannya dapat menciptakan pemerataan pembangunan pertanian. Aspek penting lainnya dari pendekatan ini adalah terciptanya pertumbuhan sentra-sentra produksi baru yang akan berperan memastikan kecukupan pangan di wilayahnya, menjamin stabilitas harga, dan pada gilirannya dapat menekan laju inflasi pangan, termasuk di sentra-sentra pangan di Sulsel dan Jateng.
Untuk memastikan terbangunnya kerangka fondasi yang dapat memaksimalkan peran sektor pertanian dalam transformasi ekonomi, diperlukan skenario yang komprehensif yang dituangkan dalam kerangka strategis pembangunan pertanian. Sasaran utama yang ingin dicapai selama 2025–2029 adalah terciptanya Pertanian Maju Berkelanjutan dan Bermanfaat bagi Rakyat Indonesia. Sasaran tersebut dicapai melalui program: (a) Pertumbuhan skala dan jumlah usaha pertanian (b) Kemandirian pangan asal pertanian (c) Ketersediaan bahan baku bionergi (d) Penciptaan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dan (e) Peningkatan kesehatan masyarakat dari penyakit hewan menular.
Kelima program tersebut dalam implementasinya didukung oleh enam kegiatan utama yang saling terkait, yaitu (a) transfomasi petani (b) pengembangan kawasan sentra produksi pangan dengan penerapan teknologi pertanian modern berkelanjutan (c) fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pertanian (d) peningkatan sistem kesehatan hewan (e) pengawasan kepatuhan tata kelola pertanian berkelanjutan dan (f) hilirisasi komoditas pertanian.
Keenam pendekatan tersebut (utamanya pengembangan kawasan sentra produksi pangan) membutuhkan dukungan infrastruktur dasar untuk berbudidaya tanaman, seperti lahan, jaringan irigasi dan tata air, bendungan, jalan usaha tani dan sarpras lainnya.
Ketujuh pembangunan pertanian dengan pendekatan kawasan diatur berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2024 Tentang Pengembangan Kawasan Pertanian.
Strategi pengembangan lokus-lokus pertanian
Penyusunan Renstra Kementerian Pertanian Menuju Lumbung Pangan Nasional ditujukan sebagai acuan Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah di bidang pangan dan pertanian dalam merumuskan strategi, kebijakan, dan program Pembangunan Pangan Dan Pertanian Tahun 2025– 2029. Tujuan pembangunan pertanian pada tahun 2025- 2029 adalah: (1) mencapai kemandirian energi, pangan, dan mewujudkan Indonesia sebagai salah satu lumbung pangan dunia (2) memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan energi secara berkelanjutan (3) meningkatkan nilai tambah dan daya saing melalui hilirisasi hasil pertanian, dan (4) meningkatkan kesejahteraan petani.
Pembangunan pertanian dengan pendekatan kawasan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2024 Tentang Pengembangan Kawasan Pertanian, yang selanjutnya pengembangan lokus tersebut disesuaikan dengan potensi komoditas yang ada dimasing-masing provinsi sesuai dengan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional, dimana provinsi Sulsel, Jateng dan Kaltim sebagai kawasan padi nasional. Kawasan pertanian nasional tersebut dikembangkan untuk komoditas prioritas sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan sesuai dengan arah dan kebijakan Kementerian Pertanian.
Kebijakan dan program Kementan di Jateng, Kaltim dan Sulsel
Secara umum program pembangunan pertanian di ketiga lokasi tersebut dilakukan melalui: i) intesifikasi dan ekstensifikasi, ii) perbaikan jaringan irigasi, iii) pemenuhan benih/bibit unggul dan pupuk, iv) bantuan alsintan untuk pertanian modern, dan penguatan kelembagaan petani. Kegiatan intensifikasi adalah strategi untuk meningkatkan produktivitas dan optimalisasi lahan sawah eksisting, melalui beberapa kegiatan sebagai berikut: a). Peningkatan indeks pertanaman (IP) padi yang didukung dengan mekanisasi prapanen dan panen (mempercepat olah tanah setelah panen) dan pompanisasi (jaminan ketersediaan air). b). Menjamin ketersediaan benih unggul bersertifikat 150 ribu ton yang meliputi 5 juta hektar dan pupuk yang mudah diakses petani melalui pengembangan benih unggul. c). Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) d). Penggunaan alsintan panen dan pascapanen modern untuk mengurangi kehilangan hasil dan meningkatkan rendemen menuju transformasi pertanian tradisional ke modern.
Strategi, program dan kebijakan pembangunan pertanian di Jateng, Sulsel dan Kaltim dilakukan oleh masing-masing eselon I Kementan, seperti Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Hortikultura, Ditjen PKH, Ditjen Perkebunan, Ditjen PSP dan Eselon I lainnya. Secara umum program tersebut meliputi:
1) Optimalisasi peningkatan indeks pertanaman padi, 2) Pengembangan padi, 3) Pengembangan jagung, kedelai dan pangan lokal, 4) Pengembangan sistem perbenihan, 5) pengendalian organisme pengganggu tanaman dan penanganan dampak perubahan iklim, dan 5) Alsintan pengolahan dan pascapanen.
Total anggaran APBN tahun 2024 di Jateng sebesar Rp 509,690 milyar, di Sulsel sebesar Rp 425,222 milyar. Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional dengan potensi pengembangan komoditas: Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu) hortikultura (cabai, bawang merah, bawang putih, jeruk, pisang, mangga, manggis, durian) perkebunan (kelapa, tebu, kopi, teh) dan peternakan (sapi potong, babi, ayam buras).
Provinsi Kalimantan Timur serdasarkan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional dengan potensi pengembangan komoditas: Tanaman Pangan (padi, jagung) hortikultura (cabai, bawang merah, jeruk, pisang) perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, lada) dan peternakan (sapi potong, sapi perah, domba dan itik).
Provinsi Sulawesi Selatan serdasarkan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional dengan potensi pengembangan komoditas: Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu) hortikultura (cabai, bawang merah, bawang putih, pisang, manga, manggis, durian) perkebunan (tebu, kakao, kopi, lada, pala, cengkeh) dan peternakan (sapi potong, kerbau, sapi perah dan ayam buras).
Program Kementan lima tahun kedepan
Dalam penyusunan program dan kebijakan dengan pendekatan pengembangan kawasan pertanian. Strategi yang digunakan untuk memastikan keberlanjutan program tersebut dapat berjalan adalah dengan membuat gugus tugas disetiap lokus. Gugus tugas tersebut terdiri dari penjab dari eselon I dan anggotanya dari eselon II lingkup Kementan. Gugus tugas tersebut bertugas melakukan pendampingan dan turun langsung ke lokasi kegiatan, memonitor dan melaporkan capaian kegiatan yang dilakukan daerah setiap hari kepada Menteri Pertanian.
Selain itu akan dilakukan refocussing dan dukungan anggaran yang cukup untuk mendukung kegiatan pada lokus-lokus tersebut utamanya terkait dengan optimasi lahan, ketersediaan benih dan pupuk, dukungan alsintan pra dan pasca panen, serta dukungan kelembagaan usaha tani.
Dukungan infrastruktur PUPR
Air merupakan kebutuhan vital dalam usaha budidaya pertanian, untuk itu perlu adanya harmonisasi dan sinergi dalam penyediaan sumber-sumber air untuk pertanian.
Hal yang perlu diperhatikan agar dukungan infrastruktur PUPR dapat bermanfaat mendukung ketahanan pangan adalah : 1) Lokasi infrastruktur berada pada lokasi sentra/kawasan pengembangan pangan, 2) Adanya kelembagaan petani yang memanfaatkan infrastruktur tersebut terkait bagaimana pengelolaan dan keberlanjutannya, dan 3) Anggaran operasionalisasi dan maintenance sarana tersebut.
Perlu koordinasi dengan Kementerian PUPR terkait identifikasi saluran tersier pembangunan baru (kewenangan PUPR) dan saluran tersier eksisting yang bisa direhab/ditingkatkan fungsinya (Kementerian Pertanian bisa ikut melakukan rehabilitasi/peningkatan fungsi), sehingga infrastruktur yang dibangun oleh PUPR sejalan dengan lokasi-lokasi pengembangan tanaman pangan utama sehingga dapat langsung dimanfaatkan.
Sebagai contoh untuk optimalisasi pemanfaatan bendungan baru melalui Kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier pada saluran tersier eksisting dalam rangkaian jaringan irigasi bendungan baru.
Terkait dengan pemanfaatan bendungan, saat ini pemanfaatan bendungan untuk pertanian dilaksanakan pada bendungan baru dengan status jaringan primer dan sekundernya telah terbangun, yaitu pada 12 bendungan baru dari 61 bendungan baru yang dibangun Kementerian PUPR, dengan luas layanan ± 108.469 Ha.
Program dan lokus prioritas Kementan
Sektor pertanian yang telah terbukti sebagai bantalan ekonomi saat terjadi krisis, mempunyai kedudukan yang teramat vital dan fatal. Vital karena sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan fatal apabila penyediaannya defisit lantas dapat dijadikan alat oleh kekuatan politik, baik yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan saat ini. Selain sebagai penyedia bahan pangan, sektor pertanian juga mempunyai peran strategis sebagai sumber bahan bahan baku industri, sumber penerimaan devisa, dan penyedia lapangan kerja.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6 persen per tahun selama kurun waktu 2025- 2029, maka sektor pertanian minimal harus tumbuh sebesar 4,81 persen per tahun dan fokus pada lima program utama, yaitu: a). Program Swasembada Pangan Nasional b). Pengembangan Komoditas Ekspor Strategis c). Peningkatan Produksi Susu untuk Mendukung Program Makan Bergizi d). Program Pekarangan Pangan Bergizi dan e). Program Mandiri Energi B-50.
Kegiatan yang akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan, adalah: 1) optimalisasi lahan rawa 2) pompanisasi lahan tadah hujan 3) cetak sawah swakelola 4) pertanian modern 5) dukungan program makan siang bergizi gratis 6) penguatan penyuluh pertanian dan 7) hilirisasi komoditas pertanian.
Guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian Indonesia, baik di pasar domestik maupun global, pembangunan pertanian ke depan. Hilirisasi akan mendorong industrialisasi berbasis sumber daya lokal sehingga akan tercipta peningkatan nilai tambah, lapangan pekerjaan, dan efek pengganda lainnya. Selama ini sektor pertanian ternyata mampu menggerakan sektor ekonomi hulu (penyedia input) maupun hilir (sebagai input antara).
Lokus pengembangan sentra produksi pangan adalah cetak sawah di Kalteng, Sumsel, Kalbar, Kaltim dan Papua Selatan. Program cetak sawah 3 juta hektar akan dilakukan selama 3 tahun, dimana pada tahun pertama akan dilakukan seluas 1 juta hektar di provinsi Papua Selatan, Kalsel, Kalteng, dan Sumsel.
Keselarasan program RPIW dan Kementan
Konteks pembangunan pertanian yang notabene berlokasi diperdesaan fokus pada tiga aspek : ketersediaan infrastruktur dasar, kualitas SDM dan pemanfaatan inovasi teknologi. Pemenuhan pada 3 aspek dasar tersebut akan berdampak pada peningkatan produktivitas tenaga kerja perdesaan, pengurangan senjang desa-kota, pengurangan kemiskinan dan laju urbanisasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Upaya yang dilakukan Kementan untuk meningkatkan produksi pertanian adalah melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, pengendalian alih fungsi lahan, dukungan kebijakan dan pengembangan sarana prasarana pertanian seperti lahan usaha tani, jalan usaha tani, jaringan irigasi, benih dan pupuk yang beberapa terkait dengan program di PUPR.
Sampai saat ini ada beberapa program infrastruktur PUPR belum selaras dengan program di Kementan. Hal ini disebabkan karena:
1) Pembangunan beberapa infrastruktur seperti bendungan belum disertai pembangunan saluran pendukung ke lahan seperti irigasi primer, sekunder dan tersiernya, sehingga upaya peningkatan produksi pangan peningkatan IP menjadi terkendala. 2) Saat musim kemarau debit air bendungan.
2) Saat musim kemarau debit air bendungan turun sehingga tidak dapat digunakan oleh petani pada saat musim tanam
3) Minimnya anggaran/kegiatan pemeliharaan sarpras irigasi dan jalan usaha tani
4) Adanya persaingan pemanfaatan sarpras antar sektor pertanian dengan sektor lainnya seperti perhubungan, perikanan dan lainnya, sehingga pemanfaatan infrastruktur irigasi menjadi tidak optimal.
Beberapa saran dan tindak lanjut:
1) Perlu koordinasi dengan Kementerian PUPR terkait identifikasi saluran tersier pembangunan baru (kewenangan PUPR) dan saluran tersier eksisting yang bisa direhab/ditingkatkan fungsinya (Kementerian Pertanian bisa ikut melakukan rehabilitasi/ peningkatan fungsi)
2) Optimalisasi pemanfaatan bendungan baru melalui Kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier pada saluran tersier eksisting dalam rangkaian jaringan irigasi bendungan baru.
3) Kegiatan irigasi pertanian berupa pengembangan jaringan irigasi di tingkat tersier namun perlu audit bersama antara Kementerian PUPR dan Kementerian Pertanian untuk identifikasi data irigasi (kondisi saluran irigasi primer, sekunder dan tersier).
4) Koordinasi meliputi: percepatan pemanfaatan bendungan baru, peningkatan fungsi saluran tersier dan penetapan CPCL yang bersinggungan antara program PUPR dan Kementan.(**)
Rubrik Perspektif Buletin Sinergi Edisi 63 menghadirkan narasumber dari Kementerian Keuangan. Dalam rubrik ini dibahas dukungan infrastruktur dari Kementerian Keuangan untuk pengembangan kawasan pertanian, Topik ini mencakup peningkatan produktivitas, pemerataan pertumbuhan, dan ketahan pangan berkelanjutan.. selengkapnya dalam Rubrik Perspektif Buletin Sinergi Edisi 63.
RPIW Selaras dengan Prioritas Sektor Pertanian
Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, M.Si.
Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Pertanian
Selama periode RPJMN 2020 - 2024, Kementerian PUPR telah melaksanakan berbagai proyek infrastruktur dalam rangka mendukung pencapaian target RPJMN 2020-2024. Proyek-proyek tersebut secara positif berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan. Beberapa proyek infrastruktur yang dilaksanakan Kementerian PUPR yang memiliki kontribusi yang signifikan terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua.
Proyek seperti Bendungan Manikin dan Temef di NTT, serta pembangunan jalan Trans Sumba, Trans Maluku, dan Trans Papua menjadi bagian penting dari upaya untuk memperkuat ketahanan air dan pangan, serta membuka keterisolasian wilayah terpencil dan meningkatkan akses ke pelayanan dasar. Hal ini tidak hanya menjawab kebutuhan dasar masyarakat tetapi juga mendukung pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan.
Pembangunan infrastruktur di kawasan-kawasan strategis seperti DPP Labuan Bajo, DPP/KEK Morotai, DPP Raja Ampat, dan KEK Sorong juga telah dilakukan diantaranya melalui penataan kawasan pariwisata, pemenuhan infrastruktur dasar seperti air minum, sanitasi, perumahan, dan penyediaan air baku, yang semuanya akan memperkuat daya tarik wisata kawasan-kawasan tersebut, sekaligus mendukung kesejahteraan penduduk.
Pembangunan Pos Lintas Batas Negara juga telah dilakukan di perbatasan seperti Napan, Motamasin, dan Skouw, yang tidak hanya memperkuat keamanan nasional, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan. Di Wilayah Papua, sebagai langkah strategis untuk memperkuat pemerintahan daerah di Daerah Otonom Baru (DOB), pembangunan gedung pemerintahan seperti Kantor Gubernur, Kantor MRP, dan Kantor DPRP, serta infrastruktur pendukungnya menjadi hal yang krusial.
Kementerian PUPR bersama kementerian/lembaga terkait berkomitmen untuk mendampingi pemerintah daerah dalam setiap tahap perencanaan dan pembangunan kawasan inti pemerintahan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Namun demikian, wilayah NTT, Maluku, dan Papua masih menghadapi tantangan besar. Masalah seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta ketimpangan konektivitas antarwilayah menjadi penghambat utama pengembangan wilayah. Selain itu, desentralisasi yang belum optimal dan tingginya ketergantungan pada transfer ke daerah memperlambat kemandirian fiskal di daerah-daerah ini. Pengelolaan dana otonomi khusus di Wilayah Papua juga belum efektif, namun terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2041 diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan dana otsus yang sesuai untuk menjawab akar masalah pembangunan.
Provinsi NTT, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua juga menghadapi risiko bencana hidrometeorologi dan geologi mengingat sebagian wilayah tersebut dilalui jalur patahan serta gunung api aktif. Wilayah-wilayah ini juga banyak didiami oleh masyarakat hukum adat yang saat ini perlindungannya masih belum maksimal. Di samping itu, dampak perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan menjadi isu yang mendesak untuk ditangani.
Untuk menjawab isu strategis tersebut, RPJPN 2025-2045 disusun dengan menitikberatkan upaya-upaya transformatif di Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dapat dilihat melalui salah satu sasaran Visi Indonesia Emas 2045, yaitu target kontribusi PDRB KTI mencapai 28,5%, dan meningkat dari proyeksi baseline sebesar 21,4% di tahun 2025.
Untuk mencapainya, pendekatan transformatif dilakukan melalui pengembangan ekosistem sentra produksi, riset berbasis komoditas unggulan, serta peningkatan konektivitas fisik dan digital.
Sebagai upaya mencapai target tersebut, telah disusun kebijakan transformatif yang spesifik untuk menjawab isu di Provinsi NTT, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua sesuai konteks wilayah masing-masing. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, masing-masing provinsi di wilayah-wilayah ini diarahkan untuk mengembangkan ekosistem sentra produksi, industri, dan riset inovasi berbasis komoditas unggulan.
Sedangkan untuk optimalisasi pengembangan potensi pariwisata, perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas dan konektivitas, serta amenitas di kawasan pariwisata prioritas eksisting seperti DPP Labuan Bajo, Raja Ampat, dan Morotai, serta kawasan pariwisata lainnya, di antaranya Banda Neira di Provinsi Maluku, Anggi di Provinsi Papua Barat, serta Pulau Sumba di Provinsi NTT.
Termasuk dalam upaya transformasi ekonomi ini adalah pengembangan kawasan sekitar kawasan strategis eksisting seperti KI Teluk Weda dan KI Fak Fak, pembangunan infrastruktur pemerintahan dan perkotaan di 4 ibukota DOB, serta penataan dan pengembangan perkotaan prioritas dengan masterplan yang disusun oleh Bappenas, yaitu Weda (Kab. Halmahera Tengah), Labuan Bajo (Kab. Manggarai Barat), Daruba (Kab. Pulau Morotai), Anggi (Kab. Pegunungan Arfak), Banda Neira (Kab. Maluku Tengah), dan Kota Sorong.
Peningkatan kualitas SDM juga menjadi pilar utama pembangunan ke depan. Langkah-langkah seperti sekolah berpola asrama, sekolah sepanjang hari, dan sistem pembelajaran jarak jauh, termasuk sekolah terbuka serta pelayanan kesehatan bergerak (mobile health services) dan sistem telemedicine berbasis gugus pulau dirancang untuk menjawab tantangan geografis. Upaya ini diharapkan dapat menekan prevalensi stunting, meningkatkan angka partisipasi pendidikan, serta memperluas akses layanan kesehatan.
Untuk memastikan keberlanjutan pembangunan, tata kelola pemerintahan juga menjadi perhatian utama. Pendekatan smart government dan peningkatan kapasitas ASN akan menjadi strategi kunci untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Selain itu, penguatan kawasan perbatasan melalui pembangunan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) kecamatan perbatasan prioritas, dan pulau-pulau kecil terluar serta pemberantasan praktik ilegal seperti IUU Fishing merupakan langkah penting untuk menjaga kedaulatan wilayah dan sumber daya alam.
Dalam peningkatan ketahanan pangan, pengembangan kawasan sentra produksi pangan dan diversifikasi pangan berbasis tanaman pangan, pangan akuatik dan pangan hewani menjadi prioritas utama. Dukungan infrastruktur seperti penyediaan listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dan peningkatan ketersediaan air baku akan menjadi landasan bagi ketahanan pangan, air, dan energi yang berkelanjutan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan infrastruktur aksesibilitas dan konektivitas serta perumahan dan permukiman untuk mendukung upaya pembangunan transformatif di Provinsi NTT, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua tersebut.
Pembangunan infrastruktur ini tentunya diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penguatan akses ke pusat-pusat pertumbuhan, mendukung pengembangan komoditas unggulan wilayah, serta menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, infrastruktur yang memadai juga akan mempercepat penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Penyusunan Rencana Pembangunan Infrastruktur Wilayah (RPIW) yang mengacu pada RPJPN dan RPJMN merupakan langkah strategis yang sejalan dengan prinsip perencanaan pembangunan nasional. Pendekatan ini memungkinkan integrasi antara perencanaan infrastruktur wilayah dengan kebijakan pembangunan nasional jangka menengah dan panjang, memastikan bahwa perencanaan infrastruktur tidak hanya bersifat regional atau sektoral, tetapi juga mendukung tujuan pembangunan nasional.
Bappenas tentu berharap bahwa dalam penyusunannya, substansi RPIW perlu selaras dengan substansi RPJPN dan RPJMN, terutama terkait arah kebijakan pembangunan dan lokasi prioritasnya. Dengan mengacu pada RPJPN dan RPJMN, BPIW memastikan bahwa perencanaan infrastruktur wilayah tidak hanya bersifat regional atau sektoral, tetapi juga mendukung tujuan-tujuan pembangunan nasional. Hal ini sangat penting agar setiap pembangunan infrastruktur tidak hanya memberikan dampak yang terbatas, tetapi juga berkelanjutan dan sejalan dengan visi pembangunan Indonesia, yakni Visi Indonesia Emas 2045.
Selain itu, RPIW yang menjadi input dalam pelaksanaan Rakorbangwil dan Konreg menunjukkan adanya proses bottom-up dan top-down yang saling menguatkan dalam perencanaan infrastruktur. Pendekatan ini memastikan bahwa kebutuhan dan prioritas daerah dapat diakomodasi dalam perencanaan yang dilakukan di tingkat pusat, sehingga pelaksanaan infrastruktur benar-benar mendukung pembangunan berbasis wilayah.
Selain RPJPN dan RPJMN, RPIW juga diharapkan dapat mengacu pada dokumen nasional yang bersifat kewilayahan, seperti Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua 2022-2041 beserta turunannya (Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua), Rencana Induk Percepatan Pembangunan Pulau Sumba 2023-2042, serta masterplan penataan dan pengembangan kawasan perkotaan prioritas.
Pada akhirnya, ketika RPIW menjadi input dalam pelaksanaan Rakorbangwil dan Konreg, diharapkan seluruh dukungan kegiatan yang dibahas sudah selaras, baik dari sisi prioritas kegiatan maupun lokasi prioritasnya. Hal ini perlu dikawal dengan seksama agar dapat termuat dalam Renja Kementerian PUPR.
Kemudian Kementerian PUPR merupakan counterpart Bappenas dalam pelaksanaan RPJPN 2025-2045. Bappenas berharap, sebagai institusi perencanaan infrastruktur wilayah, BPIW dapat memainkan peran penting dalam mendukung tercapainya Visi Indonesia Emas 2045, terutama dalam konteks pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, terintegrasi, dan berbasis wilayah.
Harapannya BPIW dapat berperan dalam merencanakan dan menyusun strategi pengembangan infrastruktur yang terkoordinasi dengan rencana pembangunan nasional. Hal ini penting untuk memastikan bahwa infrastruktur mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan konektivitas antarwilayah.
Selanjutnya, salah satu fokus utama dari Visi Indonesia Emas 2045 adalah peningkatan konektivitas, baik fisik maupun digital. BPIW diharapkan dapat berperan dalam mengembangkan jaringan infrastruktur yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi dan wilayah terpencil guna mendukung integrasi ekonomi nasional.
Kami menekankan bahwa BPIW diharapkan turut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan infrastruktur yang ramah lingkungan, mendukung ketahanan terhadap perubahan iklim, serta berkelanjutan untuk jangka panjang, sesuai dengan agenda pembangunan hijau yang menjadi bagian dari visi ini.
Dalam mendukung pemerataan pembangunan, BPIW dapat mengoordinasikan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan perbatasan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dan memajukan daerah-daerah yang selama ini tertinggal. Selain itu, kami berharap BPIW Kementerian PUPR terus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, dan lembaga internasional, untuk memastikan bahwa pengembangan infrastruktur berjalan sesuai dengan kebutuhan daerah dan selaras dengan prioritas nasional.
Dengan peran ini, BPIW Kementerian PUPR dapat menjadi salah satu institusi yang sangat penting dalam mewujudkan infrastruktur yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.(**)
Direktur Regional I Kementerian PPN/Bappenas, Abdul Malik Sadat Idris mengatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dibuat Kementerian PPN/Bappenas terdapat Proyek Prioritas Nasional atau yang dikenal dengan nama Major Project, yang di dalamnya berisi kumpulan proyek yang memiliki daya ungkit tinggi dalam mencapai sasaran RPJMN.
Beberapa proyek yang memiliki kontribusi yang signifikan mendukung target RPJMN 2020 –2025 dan RPJPN 2005 – 2025 di Wilayah I, yaitu:
Menurut Abdul Malik Sadat Idris dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2025-2029 dan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 di Wilayah I yakni Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali, memiliki beberapa isu strategis. Pulau Sumatera memilki beberapa isu strategis yakni belum optimalnya hilirisasi komoditas unggulan wilayah sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan pertambangan. Kemudian, belum optimalnya kualitas SDM dimana mayoritas tenaga kerja didominasi oleh lulusan pendidikan menengah ke bawah.
Isu strategis lainnya di Pulau Sumatera yakni degradasi lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, abrasi, dan penurunan luas lahan pertanian pangan karena aktivitas perkebunan kelapa sawit, alih fungsi lahan, serta pertambangan. Belum meratanya akses dan kualitas pelayanan dasar terutama fasilitas dan tenaga kesehatan dan pendidikan terutama di daerah 3T juga menjadi isu strategis di Pulau Sumatera ini. Selain itu, di pulau ini masih terbatas kapasitas dan kualitas infrastruktur, khususnya konektivitas antarwilayah, infrastruktur ekonomi, infrastruktur dasar, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, di Pulau Sumatera terdapat isu strategis berupa masih tingginya kerentanan dan potensi bencana terutama di pesisir barat; dan maraknya kriminalitas (narkoba, human trafficking) di daerah perbatasan negara. Beberapa isu strategis juga terdapat di Pulau Jawa dan Pulau Bali yakni masih tingginya kesenjangan pembangunan antarwilayah, karena persebaran pusat ekonomi yang tidak merata antara wilayah bagian Utara dan Selatan, serta wilayah kepulauan di Pulau Jawa dan Pulau Bali tersebut.
Isu strategis lainnya yakni masih tingginya kerentanan dan potensi bencana seperti banjir rob di daerah pesisir utara Pulau Jawa, gempa bumi dan tsunami di daerah pesisir Selatan Pulau Jawa. Kemudian, isu strategis terkait degradasi lingkungan seperti penurunan muka tanah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan polusi udara akibat aktivitas industri.
Pulau Jawa dan Pulau Bali juga memerlukan percepatan pembangunan infrastruktur layanan dasar, konektivitas, serta optimalisasi pemanfaatan teknologi dalam pengembangan sektor primer, industri, serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Selain itu ada isu strategis terkait belum optimalnya upaya pengurangan tingkat pengangguran karena adanya missmatch antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri. Selanjutnya, belum optimalnya upaya penanggulangan kemiskinan dalam mengurangi kantong-kantong kemiskinan dan jumlah penduduk miskin serta scarring effect akibat pandemi Covid-19.
Isu strategis berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali terkait pengembangan kawasan perkotaan sebagai pusat aktivitas ekonomi regional dan pusat pelayanan publik antara lain melalui pemenuhan infrastruktur perkotaan seperti layanan angkutan kota dan transportasi massal dan penataan kawasan, penataan permukiman kumuh, pemenuhan layanan dasar perkotaan dan amenitas perkotaan, serta peningkatan ketahanan bencana dan Kualitas lingkungan perkotaan.
Ia juga menjelaskan bahwa kebijakan antara Kementerian PPN/Bappenas dengan Kementerian PUPR yang perlu disinkronkan untuk Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali antara lain pertama, Penyelarasan Prioritas Pembangunan Wilayah. Program-program yang tercantum di dalam Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW) harus selaras dengan indikasi program yang ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selain itu, sasaran dan tujuan yang diidentifikasi dalam RPIW juga harus mampu mendukung dan memperkuat tujuan pembangunan jangka menengah yang sudah ditetapkan dalam RPJMN.
Kedua, sinkronisasi terkait basis data dan informasi kewilayahan antara RPIW dan RPJMN. Kedua dokumen ini perlu menggunakan data dan analisis yang konsisten terkait kondisi sosial, ekonomi, dan infrastruktur di setiap wilayah. Konsistensi data ini memastikan bahwa dasar perencanaan yang digunakan akurat dan berbasis fakta yang sama.
Sinkronisasi yang ketiga yang sangat penting untuk dilakukan yakni mekanisme pembiayaan. Strategi pembiayaan yang diuraikan dalam RPIW harus selaras dengan alokasi anggaran yang direncanakan dalam RPJMN. Pendekatan pembiayaan multi-sumber yang disusun dalam RPIW perlu mencerminkan strategi keuangan yang dirancang dalam RPJMN untuk memastikan keberlanjutan pendanaan bagi proyek-proyek strategis.
Kemudian yang keempat, yakni sinkronisasi terkait target dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang diusulkan dalam RPIW harus diselaraskan dengan indikator kinerja yang ditetapkan dalam RPJMN. Indikator-indikator ini harus mampu mencerminkan hasil pembangunan yang terukur, baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif.
Abdul Malik pun memberikan beberapa contoh sinkronisasi kebijakan yang perlu dilakukan Bappenas dengan Kementerian PUPR, yakni:
Kemudian, terkait perencanaan infrastruktur, Kementerian PUPR melalui BPIW menyusun Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW) sesuai amanat Peraturan Menteri (Permen) PUPR No.6 Tahun 2022 tentang Perencanaan dan Pemrograman Pembangunan Infrastruktur PUPR yang kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR No. 817 tahun 2024 tentang RPIW.
Terkait kedudukan dalam kebijakan, RPIW mengacu pada RPJMN dan RPJPN. Kemudian RPIW menjadi input bagi pelaksanaan Rakorbangwil dan Konreg Kementerian PUPR yang pada akhirnya menjadi input terhadap rencana kerja Kementerian PUPR. Mengenai hal ini Abdul Malik mengatakan bahwa dirinya mendukung dengan hasil penyusunan RPIW akan menjadi referensi input usulan dalam forum-forum perencanaan dari pemerintah daerah.
Usulan tersebut dapat diusulkan dalam forum Konsultasi Regional (Konreg) Kementerian PUPR, forum perencanaan lainnya seperti Rakortek – Rakorgub – Musrenbangprov dan pada akhirnya bermuara pada usulan Musrenbangnas RKP tiap tahun. Dikatakannya juga bahwa sesuai dengan amanat Undang- Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diamanatkan terkait pelaksanaan Musrenbangnas RKP dan RKPD.
Terkait peran BPIW Kementerian PUPR melalui RPIW dalam mendukung Visi Indonesia Emas 2045, Abdul Malik berharap BPIW mampu untuk menyusun perencanaan infrastruktur wilayah dalam RPIW yang terintegrasi dengan perencanaan kewilayahan, seperti RPJPN, RPJMN, RKP; perencanaan sektoral yang telah dilakukan juga di Kementerian PPN/Bappenas, serta kementerian lembaga lainnya (contoh: JUTPI, RITJ, RUPTL). “Hal ini agar dapat mendukung pengintegrasian infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, konektivitas wilayah, dan penguatan kondisi sosial masyarakat,” ujarnya.
Perencanaan infrastruktur wilayah yang perlu untuk terus didasarkan pada karakteristik khas dan/atau fungsionalitas dari suatu kawasan, seperti kawasan perkotaan kawasan pertanian, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan sebagainya. Ia juga berharap BPIW juga mengupayakan perencanaan infrastruktur yang tidak hanya mendorong kemajuan wilayah, tetapi juga mendukung keberlanjutan dengan keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kemudian, alternatif pembiayaan juga perlu dimunculkan dalam perencanaa infrastruktur karena kapasitas fiskal daerah yang sebagian besar masih belum cukup. “Pengarusutamaan teknologi terbaru dalam pengembangan infrastruktur kewilayahan juga perlu dioptimalkan, baik dalam bidang konstruksi maupun energi,” pungkasnya.(**)
Industri yang berkelanjutan adalah jenis industri yang beroperasi dengan cara memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pada implementasinya, industri ini mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam, mengurangi limbah dan emisi, serta mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik. Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar di Indonesia, menduduki posisi ke-2 setelah DKI Jakarta. Sektor Industri memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian Jawa Timur yaitu sebesar 30,34% dari total PDRB di tahun 2023.
Dengan demikian menjadi tak terelakkan bahwa pertumbuhan sektor industri vital terhadap perkembangan Provinsi Jawa Timur. Di sisi lain, berkembangnya sektor industri juga memunculkan berbagai masalah terutama terkait lingkungan, seperti pencemaran lingkungan akibat kurang optimalnya pengelolaan sampah dan limbah, alih fungsi lahan, bencana banjir dan erosi, serta eksploitasi sumber daya alam. Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum berfungsi mendorong potensi pengembangan suatu wilayah, pada konteks Jawa Timur, infrastruktur PU berperan dalam meningkatkan konektivitas, penyediaan air bersih, dan mengelolaan sampah. Policy brief ini disusun dengan maksud untuk menjawab pertanyaan, apakah infrastruktur PU yang telah dibangun mampu mendorong pertumbuhan industri sekaligus menjaga kelestarian lingkungan sehingga visi industri yang berkelanjutan di Jawa Timur dapat terwujud.
Pendahuluan
Wilayah Metropolitan (WM) Surabaya atau yang sebelumnya disebut sebagai Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila, merupakan wilayah metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. WM Surabaya terdiri dari Kota Surabaya sebagai kota inti dan hinterlandnya yang meliputi Kab. Gresik, Kab. Bangkalan, Kab. Mojokerto, Kab. Sidoarjo, dan Kab. Lamongan. Kota dan Kabupaten dalam WM ini saling terhubung secara ekonomi, sosial, dan transportasi. Dalam Perpres No. 66 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila, tujuan penataan ruang Gerbangkertosusila adalah untuk menjadi pusat ekonomi nasional dan ekonomi kelautan yang berdaya saing global, terpadu, tertib, aman, dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkuler.
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional dan Ekspor ke Pasar Global. Industri pengolahan di Jawa Timur menyumbang sebesar 18,9% atau senilai Rp. 901,8 T dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional sektor industri, nilai ini merupakan yang terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Barat (23,03% atau Rp. 1.099 T) di tahun 2023. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional menetapkan 9 Kawasan Industri (KI) eksisting dan 6 KI rencana di Jawa Timur. 7 KI eksisting tersebut meliputi Surabaya Industrial Estate Rungkut di Kota Surabaya; Sidoarjo Industrial Estate Berbek dan Kawasan Industrial Safe N Lock di Kab. Sidoarjo; Maspion Industrial Estate, Java Integrated Industrial and Port Estate, dan Kawasan Industri Gresik di Kab. Gresik; dan Ngoro Industrial Park di Mojokerto. Adapun 4 KI rencana yaitu KI SiRIE di Kab. Sidoarjo, KI Salt Lake di Kab. Gresik, KI Maritim di Kab. Lamongan, dan Madura Industrial Seaport City di Kab. Bangkalan.
Dari jumlah tersebut 7 KI eksisting dan 4 KI rencana berada dalam WM Surabaya, sehingga bisa dikatakan WM Surabaya merupakan penopang sektor industri di Jawa Timur. Beberapa sektor industri utama di Surabaya meliputi manufaktur/industri pengolahan termasuk galangan kapal, alat-alat berat, pengolahan makanan, elektronik, dan perabotan rumah tangga. Beberapa perusahaan besar yang memiliki pabrik di WM Surabaya diantaranya PT Semen Indonesia, Maspion Group, Wings Group, Unilever Indonesia, PT. PAL Indonesia, dll.
Pendekatan
Bagaimana mengukur tingkat keberhasilan infrastruktur PU dalam mendorong pertumbuhan industri yang berkelanjutan di WM Surabaya? Mengukur industri yang berkelanjutan memerlukan pendekatan holistik yang mencakup 3 aspek utama: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Pada policy brief ini, hanya akan dibahas pada aspek yang terkait erat dengan Pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum yaitu aspek lingkungan dan ekonomi. Pembahasan juga akan dikerucutkan pada sektor-sektor yang menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum, yaitu konektivitas, penyediaan air baku industri, dan sanitasi.
A. Konektivitas
Identifikasi ruas-ruas jalan prioritas terhadap aktivitas industri di WM Surabaya dapat dilihat pada pergerakan lalu lintas (matriks asal dan tujuan). Berdasarkan matriks dibawah ditemui bahwa pergerakan tertinggi terjadi antara Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kota Surabaya. Pada Kab. Sidoarjo terdapat bandara Juanda, sedangkan pada Kab. Gresik dan Kota Surabaya terdapat Pelabuhan Utama Tanjung Perak dan Pelabuhan-pelabuhan industri. Pada ketiga Kab/Kota tersebut juga terdapat jumlah kawasan industri terbanyak.
Total panjang jalan nasional di GKS Plus adalah sebesar 606,61 km dengan lebar rata-rata 12,59 m. Dari segi kinerja, kemantapan jalan 98% (594,48 km), IRI rata-rata 4,92, dan VCR rata-rata 0,68. terdapat jalan dengan VCR>0,8 (LoS kategori D) sepanjang 162,8 km (26,84%) dan jalan dengan VCR>1 (LoS kategori E) sepanjang 160,74 (26,49%). Ruas-ruas jalan dengan VCR besar tersebut sudah membutuhkan penanganan strategis agar tidak terjadi kemacetan parah yang dapat mengurangi kinerja jalan.
Untuk mendukung konektivitas industri, WM Surabaya juga didukung dengan pembangunan ruas-ruas jalan tol. Berdasarkan Kepmen PUPR No. 367/KPTS/M/2023 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional Tahun 2020-2040, Jalan tol yang sudah beroperasi meliputi: Mojokerto-Surabaya (36,27 km), Krian-Legundi-Bunder (29 km), Surabaya-Gresik (20,7 km), Surabaya-Gempol (48,85 km), dan SS Waru-Bandara Juanda (12,8 km). Adapun jalan tol yang masih rencana meliputi: Krian-Pucukan (32 km), Bandara Juanda-Tj. Perak (23 km), dan Waru-Wonokromo-Tj. Perak (18,2 km). Pembangunan ruas-ruas jalan tol tersebut dimaksudkan untuk memisahkan pergerakan antara aktivitas logistik termasuk di dalamnya industri dengan aktivitas perkotaan, dengan demikian distribusi logistik antar kawasan industri dengan pelabuhan bisa dipercepat.
B. Air Baku Industri
Capaian akses air perpipaan di WM Surabaya mencapai 27,28%, dimana akses air perpipaan tertinggi berada di Kota Surabaya (96,81%) dan terendah berada di Kab. Lamongan (6,64%).
Pada skala regional, terdapat 2 SPAM Regional yaitu SPAM Umbulan dan SPAM Mojolagres. SPAM Umbulan adalah proyek dengan skema KPBU pertama untuk sektor air minum di Indonesia. SPAM Umbulan melayani 5 Kab/Kota yaitu: Kab. Sidoarjo (1200 lps), Kab. Gresik (1.000 lps), Kab. Pasuruan (410 lps), Kota Pasuruan (110 lps), Kota Surabaya (1.000 lps), dan PDAB Jawa Timur (280 lps). SPAM Umbulan memiliki kapasitas produksi 2.700 l/dtk masih dibawah kapasitas desain 4.000 l/dtk dikarenakan tidak tersedianya sumber air baku lagi.
SPAM Regional Mojolagres memanfaatkan sumber air yang berasal dari Sungai Brantas dengan kapasitas intake terpasang direncanakan sebesar 300 l/dt. Pembangunan unit pengolahan air bersih direncanakan terbagi ke dalam 3 tahap pengembangan dengan total kapasitas produksi sebesar 300 l/dt. Pembangunan tahap I SPAM pada tahun 2012 dengan kapasitas IPA sebesar 50 l/dt. Pembangunan tahap II tahun 2017 dengan penambahan kapasitas IPA 150 l/dt. Pada tahun 2026 direncanakan pembangunan SPAM lanjutan dengan pembiayaan diajukan dari loan. Penerima manfaat yang ditargetkan adalah sebanyak ±14.929 SR atau 400.000 jiwa di 3 Kab/Kota, Kab. Mojokerto 7.819 SR, Kab. Lamongan 1.177 SR, dan Kab. Gresik 5.933 SR.
Terdapat pula SPAM Karangbinangun dan SPAM Brondong yang berlokasi di Kabupaten Lamongan dan termasuk dalam proyek strategis sesuai Perpres Nomor 80 Tahun 2019. Selain itu, beberapa kabupaten/kota di Gerbangkertosusila juga mengembangkan SPAM lokal untuk memenuhi kebutuhan air baku industri dan domestik. Misalnya, Kabupaten Sidoarjo memanfaatkan sumber air dari Kalimati dan Kali Pelayaran untuk pelayanan di wilayah Sidoarjo Barat. Penyediaan air baku untuk industri di wilayah Gerbangkertosusila merupakan hasil kerja sama antara pemerintah daerah, PDAM setempat, dan SPAM regional maupun lokal. Upaya ini dilakukan untuk memastikan ketersediaan air baku yang cukup bagi kebutuhan industri dan masyarakat.
C. Pengelolaan Sanitasi
Pengelolaan sanitasi yang menjadi kewenangan Kementerian PU mencakup pengelolaan limbah domestik, lumpur tinja, dan pengelolaan sampah. Pada prinsipnya, Kementerian PU bertanggung jawab pada pengelolaan sanitasi di kawasan permukiman dan bukan pada pengelolaan limbah di dalam Kawasan Industri. Beberapa peraturan seperti Permen Lingkungan Hidup No.3/2010 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Kawasan Industri, PP No. 142/2015 tentang Kawasan Industri, dan PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa Kawasan Industri wajib mengelola limbahnya sendiri melalui fasilitas pengolahan yang memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Permen PUPR No.4/2017 menyatakan bahwa daerah dengan kepadatan penduduk >150 jiwa/Ha dapat dibangunkan SPALD-T, sedangkan untuk kawasan strategis berkepadatan penduduk <150 jiwa/ha dapat dibangunkan SPALD-S. Kepadatan penduduk di masing-masing Kabupaten/Kota pada WM Surabaya adalah sebagai berikut: Kota Surabaya (85,85 jiwa/Ha), Kab. Gresik (10,89 jiwa/Ha), Kab. Bangkalan (10,31 jiwa/Ha), Kab. Mojokerto (15,96 jiwa/Ha), Kota Mojokerto (69,93 jiwa/Ha), Kab. Sidoarjo (30,82 jiwa/Ha), dan Kab. Lamongan (7,76 jiwa/Ha). Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Surabaya, diikuti dengan Kota Mojokerto, dan Kab. Sidoarjo. Namun demikian, berdasarkan angka tersebut, jika dilihat dalam skala kota/kab, belum ada kota/kab di WM Surabaya yang sudah memenuhi kriteria pembangunan SPALD-T. Analisis yang dihasilkan mungkin berbeda jika perhitungan dilakukan pada skala kecamatan.
Terkait pengolahan lumpur tinja, terdapat 4 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di WM Surabaya, yaitu: IPLT Keputih di Kota Surabaya, IPLT Betoyoguci di Kab. Gresik, IPLT Sidokumpul di Kab. Lamongan, dan IPLT Griyomulyo Jabon di Kab. Sidoarjo. Masih terdapat Kabupaten/Kota yang belum memiliki IPLT yaitu, Kab. Bangkalan, Kota Mojokerto, dan Kabupaten Mojokerto. Pada pelayanan persampahan, seluruh Kab/Kota telah memiliki Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) masing-masing. Namun demikian, berdasarkan analisis kapasitas dan timbunan sampah/tahun didapati bahwa hampir seluruh TPA di WM Surabaya dalam kondisi overload, hanya terdapat 1 TPA yaitu TPA Benowo di Kota Surabaya yang masih memiliki umur layanan hingga 3 tahun lagi. Untuk memenuhi kebutuhan hingga 5 tahun ke depan masih dibutuhkan program-program peningkatan layanan persampahan berupa pembangunan TPST, TPS3R, perluasan landfill, hingga pembangunan instalasi RDF.
Hasil
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah memiliki tugas merumuskan kebijakan pengembangan infrastruktur wilayah secara terpadu dan berkelanjutan. Pada tahun 2024, Pusat Pengembangan Infrastruktur PUPR Wilayah II telah melaksanakan kajian penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur Kawasan Prioritas Gerbangkertosusila (WM Surabaya). Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam perencanaan infrastruktur wilayah metropolitan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah khususnya sektor industri serta sebagai masukan dalam pembaruan dokumen RPIW Provinsi Jawa Timur khususnya pada Bab VIII Rencana Aksi Pembangunan Infrastruktur.
Dalam membuat perencanaan WM Surabaya dengan tujuan akhir peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan, perencanaan dimulai dari mengindentifikasi isu dan permasalahan, menganalisis kinerja infrastruktur terbangun dan menghitung gap kebutuhan infrastruktur sehingga kemudian dihasilkan rencana aksi pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah.
Permasalahan
• Hub transportasi khususnya Pelabuhan belum maksimal mendukung arus logistic di WM Surabaya
• Masih dibutuhkan peningkatan konektivitas antara WM Surabaya dengan hinterland dan pusat-pusat pertumbuhan lain di Jawa Timur untuk menjamin pemerataan
• Tingginya kebutuhan air baku dikarenakan besarnya jumlah penduduk di WM Surabaya serta aktivitas industri yang juga menuntut ketersediaan tampungan air baku permukaan dalam jumlah yang besar
• Masih rendahnya capaian akses air minum perpipaan di WM Surabaya.
• Tingginya tingkat pencemaran lingkungan akibat aktivitas industri khususnya di Kab. Gresik dan Kab. Sidoarjo
• Tingginya alih fungsi lahan akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan pertumbuhan industri yang pesat di WM Surabaya.
Rekomendasi Kebijakan
• Saat ini konektivitas antar Kawasan Industri (KI) di WM Surabaya dan antara KI dengan hub transportasi berupa bandara dan pelabuhan sudah terhubung dengan cukup baik melalui jaringan jalan tol. Namun demikian, masih dibutuhkan peningkatan kapasitas hub transportasi khususnya pelabuhan untuk mendukung arus logistik dari dan keluar kawasan menuju wilayah-wilayah lain di Indonesia.
• Untuk mendukung pemerataan logistik antara WM Surabaya dengan wilayah lain di Jawa Timur, masih dibutuhkan penuntasan tol Probolinggo-Banyuwangi dan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) Jawa beserta sirip-siripnya.
• Dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum baik untuk industri maupun Kawasan permukiman di WM Surabaya, masih dibutuhkan pembangunan SPAM Regional Pantura salah satu proyek dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019. SPAM ini akan melayani wilayah Kab. Tuban, Kab. Bojonegoro, dan Kab. Lamongan dengan total layanan sebesar 166.000 SR.
• Selain itu, untuk meningkatkan capaian air minum perpipaan di WM Surabaya dibutuhkan pemenuhan RC oleh pemda dan PDAM.
• Untuk mendukung pelayanan persampahan, dibutuhkan pembangunan TPST baru dengan konsep 3R, untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA, mengurangi dampak lingkungan, dan meningkatkan nilai ekonomi dari sampah daur ulang.
• Selain itu, untuk meningkatkan nilai ekonomi dari pengolahan sampah dibutuhkan dukungan pembangunan instalasi Refuse Derived Fuel (RDF) yang dapat mengubah sampah padat menjadi bahan bakar alternatif.
• Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) melakukan kegiatan penyusunan kajian Pengembangan WM Surabaya dengan fokus perencanaan sektor industri pengolahan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
• Hasil kajian akan menjadi dasar dalam pembahasan program kegiatan pada forum-forum perencanaan baik jangka menengah maupun tahunan, seperti Musrenbangnas, Rakortekrenbang, Rapat Koordinasi Pengembangan Wilayah (Rakorbangwil), dan Konsultasi Regional (Konreg).
• Dibutuhkan revisi dokumen RPIW Provinsi Jawa Timur yang menyesuaikan dengan hasil kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan khususnya pada bab skenario pengembangan dan rencana aksi.
• BPIW melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga lain serta pemerintah daerah untuk merumuskan langkah-langkah komitmen pengembangan industri di WM Surabaya dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Kesimpulan
Pesatnya pertumbuhan Industri di WM Surabaya memberikan dampak ekonomi yang besar bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, hal ini harus didukung dengan pertumbuhan infrastruktur yang memadai agar dampak negatif dari industri seperti meningkatnya kemacetan, limbah, dan pencemaran lingkungan dapat ditanggulangi dengan baik. Hal ini untuk menjamin keberlanjutan pembangunan, efisiensi sumber daya dan distribusi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja sehingga manfaat pertumbuhan industri dapat dirasakan masyarakat luas.
BPIW diharapkan dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap RPIW Kawasan Prioritas WM Surabaya yang telah disusun, hal ini untuk mendapatkan masukan revisi RPIW Jawa Timur khususnya pada bab rencana aksi. Revisi RPIW akan menjadi dasar dalam penetapan program tahunan pada forum-forum perencanaan seperti Rakorbangwil dan Koreg yang dilaksanakan setiap tahun. Selanjutnya, dokumen RPIW KP WM Surabaya akan menjadi masukan dalam RPJMD, RISPAM, masterplan air limbah dan masterplan persampahan WM Surabaya.(**)
Referensi/Rujukan
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
2. Perpres No. 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan, Kawasan Bromo-Tengger-Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan
3. Peraturan Menteri PUPR No. 17/PRT/M/2019 tentang Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW)
4. Keputusan Menteri PUPR No. 367/KPTS/M/2023 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional Tahun 2020-2040
5. PDRB Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2019-2023 (BPS)