
Memuat halaman...
Memuat halaman...
Urgensi Infrastruktur dalam Pembangunan Nasional
Infrastruktur merupakan fondasi vital bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kehidupan sebuah negara. Infrastruktur berperan penting dalam mendukung aktivitas penduduk yang berkolerasi dengan ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Pembangunan infrastruktur tentunya berpengaruh secara signifikan terhadap sektor-sektor perekonomian seperti pertanian, industri, dan pariwisata yang akan berkembang dengan lebih optimal dengan dukungan infrastruktur. Infrastruktur yang dibangun secara sinergis akan meningkatkan daya saing suatu negara melalui aksesibilitas, efisiensi distribusi barang dan jasa, serta konektivitas antarwilayah yang memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Bagaimana tidak? Infrastruktur air baku, jalan, air bersih, sanitasi, dan perumahan merupakan elemen-elemen dasar yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat secara nyata bila infrastruktur tersebut berfungsi optimal dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Lalu kemudian, bagaimana dengan infrastruktur PUPR yang telah dibangun, apakah telah sesuai dengan tujuannya, membawa manfaat bagi masyarakat dan wilayah sekitar?
Berbeda dengan evaluasi terhadap infrastruktur PUPR yang rutin dilakukan, Evaluasi Manfaat Infrastruktur PUPR terbangun yang dilakukan oleh BPIW adalah untuk memastikan keberfungsian dan kebermanfaatan infrastruktur PUPR tersebut melalui beberapa tahapan. Tahap pertama dilakukan pengumpulan data rencana teknis berupa dokumen Feasibility Study (FS), Rencana Induk, atau rencana teknis lainnya yang menunjukkan kebermanfaatan dari infrastruktur yang direncanakan. Dokumen-dokumen rencana tersebut menjadi salah satu pedoman dalam melihat realisasi di lapangan. Kemudian, dilakukan survei lapangan dengan mengobservasi keseluruhan sistem infrastruktur secara fisik melalui beberapa parameter kesesuaian seperti lokasi, waktu, biaya, volume, area layanan/manfaat, serta perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah adanya infrastruktur PUPR terhadap kondisi masyarakat dan wilayah sekitar. Yang menjadi poin penting adalah kegiatan evaluasi manfaat ini tidak bertujuan mencari kesalahan perencanaan maupun pelaksanaan suatu program/proyek, namun lebih untuk mengidentifikasi keberfungsian dan kebermanfaatan infrastruktur PUPR sebagai masukan program OPOR (Optimalisasi, Pemeliharaan, Operasi, dan Rehabilitasi) pada tahun ini maupun yang akan datang.
Kegiatan Evaluasi Manfaat Infrastruktur PUPR
BPIW telah 2 tahun berturut-turut melakukan kegiatan evaluasi manfaat infrastruktur PUPR, yaitu pada tahun 2023 dan 2024. Di tahun 2023, objek infrastruktur yang disurvei sebanyak 169 infrastruktur PUPR di seluruh provinsi. Sedangkan pada tahun 2024, evaluasi manfaat infrastruktur PUPR dilakukan terhadap 73 objek infrastruktur PUPR yang tersebar di 20 provinsi. Selain infrastruktur PUPR secara umum, infrastruktur PUPR yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) juga termasuk yang dievaluasi keberfungsian dan kebermanfaatannya.
Beberapa showcase evaluasi manfaat infrastruktur PUPR berikut setidaknya memberi gambaran umum keberfungsian dan kebermanfaatan infrastruktur PUPR.
Bendungan Tapin, Kalimantan Selatan
Bendungan Tapin di Kalimantan Selatan merupakan upaya mewujudkan ketahanan pangan dan air nasional dengan luas wilayah mencapai 2.174,95 km2 dengan target luasan irigasi 5.472 ha. Bendungan ini mempunyai kapasitas tampung sebesar 50,26 juta m3 sesuai dengan yang direncanakan, sehingga target area manfaat terpenuhi dan meningkatkan indeks pertanaman dari 1,5 menjadi 2.
Selain sebagai penyedia air baku, Bendungan Tapin juga berfungsi sebagai pereduksi banjir yang terjadi di kawasan sekitarnya, khususnya di Kota Rantau, Ibu Kota Kab. Tapin. Bendungan ini mempunyai potensi wisata yang dapat dikembangkan sebagai destinasi pariwisata agar mendongkrak perekonomian wilayah tersebut. Selain itu, Bendungan Tapin juga berpotensi sebagai pembangkit listrik namun belum terutilisasi.
Terowongan Air Nanjung, Jawa Barat
Terowongan Air Nanjung berlokasi di hulu Sungai Citarum, tepatnya di Kel. Lagadar, Kec. Margaasih, Kab. Bandung, Jawa Barat. Fungsi dibangunnya terowongan ini untuk memperlancar aliran Sungai Citarum ke hilir sehingga mereduksi banjir di kawasan Bandung Selatan yang sebelumnya kerap terjadi. Luasan banjir yang dapat tereduksi dari adanya terowongan ini mencapai 700 ha, dengan penurunan debit banjir sebesar 44,28 m3 /det. Manfaat nyata dari terowongan ini dirasakan oleh 14.000 KK yang terbebas dari banjir di kawasan tersebut.
SPAM Semarang Barat, Jawa Tengah
SPAM Semarang Barat dibangun di Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah yang memanfaatkan sumber air dari Waduk Jatibarang dengan kapasitas intake terpasang sebesar 1.050 l/det sesuai dengan yang direncanakan. Untuk pembangunan unit pengolahan air bersih telah mencapai kapasitas produksi 624,29 l/det dan akan dituntaskan hingga mencapai target 1000 l/ det pada akhir tahun 2024.
Pembangunan SPAM ini berhasil mencapai tujuan utama yaitu meningkatkan volume ketersediaan air yang layak konsumsi bagi masyarakat khususnya di Kec. Ngaliyan, Kec. Tugu, dan Kota Semarang Barat. Kebutuhan harian air bersih masyarakat terpenuhi, baik secara kuantitas maupun kualitas dengan adanya SPAM ini. Sebelumnya, masyarakat penerima manfaat menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan airnya karena terbatasnya ketersediaan air bersih, sangat bergantung pada air tanah dan sumur bor. Keadaan ini membuat ketidaknyamanan terutama pada periode kemarau sehingga berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup. SPAM Semarang Barat menyediakan akses layanan air bersih 24 jam penuh agar masyarakat dapat menikmati air bersih tanpa gangguan atau ketidakpastian pasokan air sehari-hari. Dengan dibangunnya SPAM ini diharapkan masyarakat mengurangi aktivitas pengambilan air tanah sehingga risiko penurunan muka tanah dan kerusakan lingkungan dapat dikendalikan.
Jalan Tol Sigli-Banda Aceh
Jalan tol Sigli – Banda Aceh dibangun secara bertahap, sejak tahun 2020 hingga 2024 dengan panjang 74,19 km. Hingga saat ini, telah terdapat 5 seksi jalan tol yang beroperasi, yaitu jalan tol Seulimeum-Jantho, Jantho-Indrapuri, Indrapuri-Blang Bintang, Blang Bintang-Kuto Baro, dan Kuto Baro-Baitussalam. Untuk seksi Padang Tiji-Seulimeum terutama menuju ke Medan masih dalam tahap konstruksi dengan target selesai dan beroperasi di bulan September 2024. Bila ruas jalan tersebut selesai dengan perkiraan target operasional pada Desember 2024, maka perjalanan menuju Medan akan ditempuh dalam 9 jam dari 12 jam bila melalui jalan nasional. Sebelum dibangunnya jalan tol Sigli-Banda Aceh, pergerakan logistik sangat padat melalui jalan nasional dengan kecepatan rata-rata tergolong rendah akibat melewati permukiman penduduk sehingga waktu tempuh lebih lama. Disamping itu, jalan nasional di Kota Banda Aceh sering mengalami kemacetan, terutama di wilayah perkotaan, sehingga mempengaruhi mobilitas harian dan distribusi logistik. Waktu tempuh yang lama ini dirasakan oleh para pekerja dimana banyak pekerja yang tinggal di Kota Banda Aceh memerlukan waktu hingga satu jam untuk mencapai pusat perkantoran di Jantho. Sedangkan waktu tempuh dari Sigli menuju Banda Aceh melalui jalan non tol berkisar antara 2 hingga 2,5 jam.
Kondisi ini telah berubah sejak dibangunnya jalan tol Sigli-Banda Aceh yang mengurangi waktu tempuh sangat signifikan. Para pekerja hanya membutuhkan waktu 15 menit dari Banda Aceh menuju kawasan perkantoran di Jantho. Setelah tol beroperasi penuh, perjalanan dari Sigli menuju Banda Aceh ditempuh dalam 1-1,5 jam dan kepadatan jalan nasional menjadi berkurang, karena sebagian pengguna jalan beralih ke jalan tol terutama truk-truk pembawa barang, sehingga distribusi logistik tidak mengalami hambatan yang berarti.
Lima seksi Jalan tol Sigli-Banda Aceh yang telah beroperasi ini menyediakan akses yang lebih mudah menuju pusat-pusat perekonomian dan pengembangan wilayah, diantaranya akses menuju Pelabuhan Malahayati, Bandara Sultan Iskandar Muda, pusat pergudangan industri, pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Besar, dan kawasan wisata Lembah Seulawah. Namun demikian, sebagian pengguna jalan merasa biaya tol cukup tinggi sehingga pengguna memilih jalan nasional sebagai akses ke berbagai tujuan, terutama ke arah Bandara Sultan Iskandar Muda yang masih cukup jauh dari pintu keluar tol Blang Bintang karena tetap melalui jalan nasional menuju bandara tersebut.
Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB)
Untuk level kawasan, KITB menjadi salah satu kawasan dengan PSN yang cukup lengkap, diantaranya drainase utama, TPST, IPA, IPAL, perumahan, dan jalan kawasan.
Drainase utama KITB yang dibangun pada tahun 2021 bertujuan untuk mengendalikan luapan air dikarenakan seringnya terjadi banjir pada Desa Celong yang terletak di hilir saluran drainase eksisting. Kapasitas drainase eksisting tersebut tidak dapat menampung aliran air yang turun cukup masif karena ketinggian antara KITB dan Desa Celong mencapai 40 meter. Dengan dibangunnya drainase tersebut, banjir tidak terjadi lagi. Setelah beberapa tahun drainase tersebut beroperasi, terjadi sedimentasi yang mempengaruhi kelancaran air, sehingga perlu dilakukan upaya pengurangan sedimentasi lebih sering agar laju air tidak tersendat dan mempengaruhi kinerja drainase tersebut.
Sedangkan di sektor jalan, jalan kawasan dibangun sepanjang 50,62 km dan jembatan 719 m yang berfungsi menghubungkan kantor pengelola, tenant, dan warga di dalam kawasan ke jalan tol dan jalan Pantura. KITB juga telah dilengkapi dengan infrastruktur Cipta Karya seperti TPST, IPA, dan IPAL yang secara umum telah berfungsi dan termanfaatkan dengan baik walaupun belum optimal. Ketidakoptimalan infrastruktur tersebut terjadi karena belum seluruh tenant di KIT Batang beroperasi.
Sebelum Instalasi Pengolahan Air (IPA) di KITB dioperasionalkan, jumlah tenant yang berinvestasi di kawasan ini masih relatif terbatas. Namun, setelah IPA KITB mulai beroperasi, terjadi peningkatan dalam jumlah tenant yang berinvestasi di kawasan tersebut. Ketersediaan infrastruktur air yang andal memberikan jaminan kepada calon investor bahwa kebutuhan dasar mereka akan terpenuhi dengan baik, sehingga mengurangi risiko operasional. Hal ini secara langsung mendorong pertumbuhan minat investasi dan penambahan tenant yang ingin mendirikan fasilitas industri di KITB.
IPA KITB memberikan manfaat besar bagi para tenant yang menempati kawasan tersebut. Saat ini, terdapat 14 tenant di KITB dan sekitar 42,85% sudah tercatat memanfaatkan infrastruktur air dari IPA KITB, diantaranya KCC Glass, Samator, Unipax Plasindo, Rumah Keramik Indonesia, Yih Quan, dan Wavin. Infrastruktur dasar seperti rusun, gedung pengelola, IPAL, TPST, dan tenant BPSP juga turut menunjang kegiatan operasional para tenant. Pembangunan ini tidak hanya menyediakan fasilitas untuk produksi, tetapi juga mengoptimalkan efisiensi operasional dengan memberikan akses pada sistem pengolahan limbah, penyediaan air bersih, dan pengelolaan lingkungan secara terintegrasi.
Untuk mendukung pengoptimalan manfaat dari infrastruktur yang telah dibangun tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama dengan pihak pengelola KITB harus terus berupaya mempromosikan kawasan industri ini kepada para investor, baik di dalam negeri maupun internasional. Meskipun infrastruktur dasar telah tersedia, keberhasilan kawasan industri ini tetap bergantung pada sejauh mana minat investasi bisa ditingkatkan.
Upaya mempromosikan keunggulan KITB diantaranya ketersediaan infrastruktur yang memadai, dukungan pemerintah yang kuat, dan potensi keuntungan jangka panjang bagi investor perlu terus digencarkan. Dengan strategi promosi yang efektif, KITB dapat menarik lebih banyak perusahaan untuk menanamkan modal, yang bermuara pada percepatan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut serta di Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan.
Jalan Tol Pekanbaru-Dumai
Jalan Tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131,48 km merupakan bagian dari Tol Trans Sumatera, dibangun sejak tahun 2017 dan selesai tahun 2020 dengan biaya mencapai Rp12,18 triliun. Jalan tol ini telah diresmikan secara virtual oleh Presiden Joko Widodo pada 25 September 2020 lalu. Jalan Tol Pekanbaru - Dumai menghubungkan berbagai koridor ekonomi utama di Provinsi Riau, yaitu seperti Dumai-Duri-Kandis-Petapahan-Minas-Pekanbaru. Keberadaan jalan tol ini diharapkan meningkatkan dan memudahkan akses Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau sekaligus kota bisnis dan Kota Dumai yang merupakan kota dengan industri perminyakan dan agribisnis yang potensial sebagai kota pelabuhan yang berada pada posisi lintas perdagangan internasional Selat Melaka. Terdapat lima kawasan industri di sana, yakni Kawasan Industri Pelintung, Kawasan Industri Lubuk Gaung, Kawasan Pengembang Pelabuhan Terpadu (KPPT), Kawasan Pelabuhan (Pelindo I) dan Kawasan Industri Pengolahan Migas (Pertamina Reg II dan Chevron). Keberadaan jalan tol ini akan mengintegrasikan konektivitas kawasan, memperlancar arus distribusi barang dari pusat industri ke berbagai wilayah di Sumatera.
Dari sisi efisiensi, Jalan Tol Pekanbaru -Dumai dengan panjang 131,48 km sebagai jalan alternatif menuju Kota Pekanbaru dan Dumai merupakan pilihan rute yang lebih nyaman dan efisien dalam waktu tempuh karena mampu memangkas waktu perjalanan 2-3 jam jika dibandingkan melalui jalan nasional yang memerlukan waktu 5-6 jam perjalanan. Selain itu jalan tol ini memperpendek jarak tempuh sebesar 70 km dibandingkan melaui jalan nasional yang mencapai panjang 200 km. Terlebih jalan tol ini dilengkapi dengan TempatIstirahat dan Pelayanan (TIP). Terdapat sepuluh TIP dengan jarak antara masing-masing TIP sekitar 20 hingga 30 kilometer. Lima TIP terletak pada jalurA (Jalur Pekanbaru-Dumai) dan jalurB (Jalur Dumai-Pekanbaru) yakni di km 14+500 A&B, km 45+200 A, km STA 46+050 B, km 65+000 A&B, km 82+300 A&B, dan km 15+200 A&Bdari arah Dumai. TIP ini mulai dikerjakan pada tahun 2023, dan hingga saat ini, baru rest area km 45 yang telah berfungsi secara menyeluruh.
Jalan tol Pekanbaru-Dumai melintasi kawasan konservasi habitat gajah di Minas Kabupaten Siak dan Suaka Margasatwa Balai Raja yang mana kedua kawasan ini merupakan tempat perlintasan aktif gajah-gajah Sumatra di Provinsi Riau. Yang menarik dari jalan tol ini adalah adanya jembatan dan underpass yang dikhususkan untuk perlintasan satwa terutama gajah Sumatera, artinya pembangunan jalan tol ini memperhatikan keberlangsungan satwa sebagai unsur dari keanekaragaman hayati di Sumatera khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Perlintasan khusus satwa ini berlokasi di Seksi 2 antara Minas-Petapahan di Sungai Tekuana dan tidak jauh dari Pusat Latihan Gajah Minas, dan di Seksi 4 dekat dengan Suaka Margasatwa Balai Raja. Di kawasan Seksi 2 terdapat sedikitnya 13 gajah sumatera liar, dan di Seksi 4 antara Kandis Utara dan Duri Selatan terdapat dua kawasan suaka margasatwa, yaitu Balai Raja dan Giam Siak Kecia-Bukit Batu dengan populasi fauna antara lain gajah sumatera, harimau sumatera, beruang madu, dan tapir. Terowongan gajah dengan tinggi 5,1 m dan lebar 40 m telah disesuaikan dengan habitat aslinya di alam sehingga satwa tidak merasa asing di area jalan tol tersebut.
Pada bagian kiri dan kanan pada terowongan gajah dilengkapi dengan pagar pengaman agar satwa-satwa tersebut aman dan ekosistem tetap terjaga. Terowongan perlintasan gajah ini dibuat sekaligus untuk menjaga keselamatan para pengguna jalan tol, agar tidak bersinggungan langsung dengan gajah yang melintasi area tersebut.
Konklusi
Kegiatan evaluasi manfaat infrastruktur PUPR yang dilaksanakan merupakan salah satu upaya penjaminan berfungsinya dan bermanfaatnya infrastruktur yang dibangun bagi para pengguna atau penerima manfaat. Dari hasil evaluasi tersebut diketahui beberapa permasalahan yang perlu ditindaklanjuti, antara lain dari aspek tata kelola dan kelembagaan. Perlunya kesiapan Pemerintah Daerah dalam melanjutkan infrastruktur yang telah dibangun oleh Pemerintah Pusat, sehingga manfaat infrastruktur dirasakan masyarakat secara langsung dan berkontribusi lebih jauh lagi terhadap pengembangan wilayah dan peningkatan perekonomian. Disamping itu, hasil evaluasi manfaat infrastruktur PUPR berperan dalam perbaikan perencanaan kedepan, sehingga infrastruktur yang direncanakan tidak hanya sebatas output namun diperlukan aspek pendukung lain baik fisik maupun non fisik yang signifikan mempengaruhi kebermanfaatan dan keberlanjutan infrastruktur terbangun. Selain itu, perencanaan yang mengusung pembangunan berbasis wilayah yang berkelanjutan telah dilakukan pada beberapa PSN tersebut dan merupakan langkah awal yang sangat baik bagi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan skala nasional.(**)
Kementerian Pertanian memiliki pendekatan teknoratik infrastruktur untuk pengembangan lokus pertanian di kawasan pertanian Bone-Wajo-Sidrap-Pinrang di Sulsel dan Jateng sebagai lumbung padi terbesar kedua di Indonesia.
Berdasarkan visi-misi presiden terpilih yang telah diterjemahkan dalam RPJMN, maka pendekatan teknokratik yang digunakan sebagai dasar pembangunan pertanian ke depan adalah pertanian tidak lagi dilihat sebatas kegiatan untuk memproduksi bahan mentah, tetapi juga diarahkan untuk pada penciptaan nilai tambah dan hilirisasi yang terintegrasi.
Pendekatan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pusat-pusat industri pengolahan secara merata di Indonesia dan pada gilirannya dapat menciptakan pemerataan pembangunan pertanian. Aspek penting lainnya dari pendekatan ini adalah terciptanya pertumbuhan sentra-sentra produksi baru yang akan berperan memastikan kecukupan pangan di wilayahnya, menjamin stabilitas harga, dan pada gilirannya dapat menekan laju inflasi pangan, termasuk di sentra-sentra pangan di Sulsel dan Jateng.
Untuk memastikan terbangunnya kerangka fondasi yang dapat memaksimalkan peran sektor pertanian dalam transformasi ekonomi, diperlukan skenario yang komprehensif yang dituangkan dalam kerangka strategis pembangunan pertanian. Sasaran utama yang ingin dicapai selama 2025–2029 adalah terciptanya Pertanian Maju Berkelanjutan dan Bermanfaat bagi Rakyat Indonesia. Sasaran tersebut dicapai melalui program: (a) Pertumbuhan skala dan jumlah usaha pertanian (b) Kemandirian pangan asal pertanian (c) Ketersediaan bahan baku bionergi (d) Penciptaan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dan (e) Peningkatan kesehatan masyarakat dari penyakit hewan menular.
Kelima program tersebut dalam implementasinya didukung oleh enam kegiatan utama yang saling terkait, yaitu (a) transfomasi petani (b) pengembangan kawasan sentra produksi pangan dengan penerapan teknologi pertanian modern berkelanjutan (c) fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pertanian (d) peningkatan sistem kesehatan hewan (e) pengawasan kepatuhan tata kelola pertanian berkelanjutan dan (f) hilirisasi komoditas pertanian.
Keenam pendekatan tersebut (utamanya pengembangan kawasan sentra produksi pangan) membutuhkan dukungan infrastruktur dasar untuk berbudidaya tanaman, seperti lahan, jaringan irigasi dan tata air, bendungan, jalan usaha tani dan sarpras lainnya.
Ketujuh pembangunan pertanian dengan pendekatan kawasan diatur berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2024 Tentang Pengembangan Kawasan Pertanian.
Strategi pengembangan lokus-lokus pertanian
Penyusunan Renstra Kementerian Pertanian Menuju Lumbung Pangan Nasional ditujukan sebagai acuan Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah di bidang pangan dan pertanian dalam merumuskan strategi, kebijakan, dan program Pembangunan Pangan Dan Pertanian Tahun 2025– 2029. Tujuan pembangunan pertanian pada tahun 2025- 2029 adalah: (1) mencapai kemandirian energi, pangan, dan mewujudkan Indonesia sebagai salah satu lumbung pangan dunia (2) memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan energi secara berkelanjutan (3) meningkatkan nilai tambah dan daya saing melalui hilirisasi hasil pertanian, dan (4) meningkatkan kesejahteraan petani.
Pembangunan pertanian dengan pendekatan kawasan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2024 Tentang Pengembangan Kawasan Pertanian, yang selanjutnya pengembangan lokus tersebut disesuaikan dengan potensi komoditas yang ada dimasing-masing provinsi sesuai dengan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional, dimana provinsi Sulsel, Jateng dan Kaltim sebagai kawasan padi nasional. Kawasan pertanian nasional tersebut dikembangkan untuk komoditas prioritas sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan sesuai dengan arah dan kebijakan Kementerian Pertanian.
Kebijakan dan program Kementan di Jateng, Kaltim dan Sulsel
Secara umum program pembangunan pertanian di ketiga lokasi tersebut dilakukan melalui: i) intesifikasi dan ekstensifikasi, ii) perbaikan jaringan irigasi, iii) pemenuhan benih/bibit unggul dan pupuk, iv) bantuan alsintan untuk pertanian modern, dan penguatan kelembagaan petani. Kegiatan intensifikasi adalah strategi untuk meningkatkan produktivitas dan optimalisasi lahan sawah eksisting, melalui beberapa kegiatan sebagai berikut: a). Peningkatan indeks pertanaman (IP) padi yang didukung dengan mekanisasi prapanen dan panen (mempercepat olah tanah setelah panen) dan pompanisasi (jaminan ketersediaan air). b). Menjamin ketersediaan benih unggul bersertifikat 150 ribu ton yang meliputi 5 juta hektar dan pupuk yang mudah diakses petani melalui pengembangan benih unggul. c). Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) d). Penggunaan alsintan panen dan pascapanen modern untuk mengurangi kehilangan hasil dan meningkatkan rendemen menuju transformasi pertanian tradisional ke modern.
Strategi, program dan kebijakan pembangunan pertanian di Jateng, Sulsel dan Kaltim dilakukan oleh masing-masing eselon I Kementan, seperti Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Hortikultura, Ditjen PKH, Ditjen Perkebunan, Ditjen PSP dan Eselon I lainnya. Secara umum program tersebut meliputi:
1) Optimalisasi peningkatan indeks pertanaman padi, 2) Pengembangan padi, 3) Pengembangan jagung, kedelai dan pangan lokal, 4) Pengembangan sistem perbenihan, 5) pengendalian organisme pengganggu tanaman dan penanganan dampak perubahan iklim, dan 5) Alsintan pengolahan dan pascapanen.
Total anggaran APBN tahun 2024 di Jateng sebesar Rp 509,690 milyar, di Sulsel sebesar Rp 425,222 milyar. Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional dengan potensi pengembangan komoditas: Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu) hortikultura (cabai, bawang merah, bawang putih, jeruk, pisang, mangga, manggis, durian) perkebunan (kelapa, tebu, kopi, teh) dan peternakan (sapi potong, babi, ayam buras).
Provinsi Kalimantan Timur serdasarkan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional dengan potensi pengembangan komoditas: Tanaman Pangan (padi, jagung) hortikultura (cabai, bawang merah, jeruk, pisang) perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, lada) dan peternakan (sapi potong, sapi perah, domba dan itik).
Provinsi Sulawesi Selatan serdasarkan Kepmentan 472 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional dengan potensi pengembangan komoditas: Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu) hortikultura (cabai, bawang merah, bawang putih, pisang, manga, manggis, durian) perkebunan (tebu, kakao, kopi, lada, pala, cengkeh) dan peternakan (sapi potong, kerbau, sapi perah dan ayam buras).
Program Kementan lima tahun kedepan
Dalam penyusunan program dan kebijakan dengan pendekatan pengembangan kawasan pertanian. Strategi yang digunakan untuk memastikan keberlanjutan program tersebut dapat berjalan adalah dengan membuat gugus tugas disetiap lokus. Gugus tugas tersebut terdiri dari penjab dari eselon I dan anggotanya dari eselon II lingkup Kementan. Gugus tugas tersebut bertugas melakukan pendampingan dan turun langsung ke lokasi kegiatan, memonitor dan melaporkan capaian kegiatan yang dilakukan daerah setiap hari kepada Menteri Pertanian.
Selain itu akan dilakukan refocussing dan dukungan anggaran yang cukup untuk mendukung kegiatan pada lokus-lokus tersebut utamanya terkait dengan optimasi lahan, ketersediaan benih dan pupuk, dukungan alsintan pra dan pasca panen, serta dukungan kelembagaan usaha tani.
Dukungan infrastruktur PUPR
Air merupakan kebutuhan vital dalam usaha budidaya pertanian, untuk itu perlu adanya harmonisasi dan sinergi dalam penyediaan sumber-sumber air untuk pertanian.
Hal yang perlu diperhatikan agar dukungan infrastruktur PUPR dapat bermanfaat mendukung ketahanan pangan adalah : 1) Lokasi infrastruktur berada pada lokasi sentra/kawasan pengembangan pangan, 2) Adanya kelembagaan petani yang memanfaatkan infrastruktur tersebut terkait bagaimana pengelolaan dan keberlanjutannya, dan 3) Anggaran operasionalisasi dan maintenance sarana tersebut.
Perlu koordinasi dengan Kementerian PUPR terkait identifikasi saluran tersier pembangunan baru (kewenangan PUPR) dan saluran tersier eksisting yang bisa direhab/ditingkatkan fungsinya (Kementerian Pertanian bisa ikut melakukan rehabilitasi/peningkatan fungsi), sehingga infrastruktur yang dibangun oleh PUPR sejalan dengan lokasi-lokasi pengembangan tanaman pangan utama sehingga dapat langsung dimanfaatkan.
Sebagai contoh untuk optimalisasi pemanfaatan bendungan baru melalui Kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier pada saluran tersier eksisting dalam rangkaian jaringan irigasi bendungan baru.
Terkait dengan pemanfaatan bendungan, saat ini pemanfaatan bendungan untuk pertanian dilaksanakan pada bendungan baru dengan status jaringan primer dan sekundernya telah terbangun, yaitu pada 12 bendungan baru dari 61 bendungan baru yang dibangun Kementerian PUPR, dengan luas layanan ± 108.469 Ha.
Program dan lokus prioritas Kementan
Sektor pertanian yang telah terbukti sebagai bantalan ekonomi saat terjadi krisis, mempunyai kedudukan yang teramat vital dan fatal. Vital karena sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan fatal apabila penyediaannya defisit lantas dapat dijadikan alat oleh kekuatan politik, baik yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan saat ini. Selain sebagai penyedia bahan pangan, sektor pertanian juga mempunyai peran strategis sebagai sumber bahan bahan baku industri, sumber penerimaan devisa, dan penyedia lapangan kerja.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6 persen per tahun selama kurun waktu 2025- 2029, maka sektor pertanian minimal harus tumbuh sebesar 4,81 persen per tahun dan fokus pada lima program utama, yaitu: a). Program Swasembada Pangan Nasional b). Pengembangan Komoditas Ekspor Strategis c). Peningkatan Produksi Susu untuk Mendukung Program Makan Bergizi d). Program Pekarangan Pangan Bergizi dan e). Program Mandiri Energi B-50.
Kegiatan yang akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan, adalah: 1) optimalisasi lahan rawa 2) pompanisasi lahan tadah hujan 3) cetak sawah swakelola 4) pertanian modern 5) dukungan program makan siang bergizi gratis 6) penguatan penyuluh pertanian dan 7) hilirisasi komoditas pertanian.
Guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian Indonesia, baik di pasar domestik maupun global, pembangunan pertanian ke depan. Hilirisasi akan mendorong industrialisasi berbasis sumber daya lokal sehingga akan tercipta peningkatan nilai tambah, lapangan pekerjaan, dan efek pengganda lainnya. Selama ini sektor pertanian ternyata mampu menggerakan sektor ekonomi hulu (penyedia input) maupun hilir (sebagai input antara).
Lokus pengembangan sentra produksi pangan adalah cetak sawah di Kalteng, Sumsel, Kalbar, Kaltim dan Papua Selatan. Program cetak sawah 3 juta hektar akan dilakukan selama 3 tahun, dimana pada tahun pertama akan dilakukan seluas 1 juta hektar di provinsi Papua Selatan, Kalsel, Kalteng, dan Sumsel.
Keselarasan program RPIW dan Kementan
Konteks pembangunan pertanian yang notabene berlokasi diperdesaan fokus pada tiga aspek : ketersediaan infrastruktur dasar, kualitas SDM dan pemanfaatan inovasi teknologi. Pemenuhan pada 3 aspek dasar tersebut akan berdampak pada peningkatan produktivitas tenaga kerja perdesaan, pengurangan senjang desa-kota, pengurangan kemiskinan dan laju urbanisasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Upaya yang dilakukan Kementan untuk meningkatkan produksi pertanian adalah melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, pengendalian alih fungsi lahan, dukungan kebijakan dan pengembangan sarana prasarana pertanian seperti lahan usaha tani, jalan usaha tani, jaringan irigasi, benih dan pupuk yang beberapa terkait dengan program di PUPR.
Sampai saat ini ada beberapa program infrastruktur PUPR belum selaras dengan program di Kementan. Hal ini disebabkan karena:
1) Pembangunan beberapa infrastruktur seperti bendungan belum disertai pembangunan saluran pendukung ke lahan seperti irigasi primer, sekunder dan tersiernya, sehingga upaya peningkatan produksi pangan peningkatan IP menjadi terkendala. 2) Saat musim kemarau debit air bendungan.
2) Saat musim kemarau debit air bendungan turun sehingga tidak dapat digunakan oleh petani pada saat musim tanam
3) Minimnya anggaran/kegiatan pemeliharaan sarpras irigasi dan jalan usaha tani
4) Adanya persaingan pemanfaatan sarpras antar sektor pertanian dengan sektor lainnya seperti perhubungan, perikanan dan lainnya, sehingga pemanfaatan infrastruktur irigasi menjadi tidak optimal.
Beberapa saran dan tindak lanjut:
1) Perlu koordinasi dengan Kementerian PUPR terkait identifikasi saluran tersier pembangunan baru (kewenangan PUPR) dan saluran tersier eksisting yang bisa direhab/ditingkatkan fungsinya (Kementerian Pertanian bisa ikut melakukan rehabilitasi/ peningkatan fungsi)
2) Optimalisasi pemanfaatan bendungan baru melalui Kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier pada saluran tersier eksisting dalam rangkaian jaringan irigasi bendungan baru.
3) Kegiatan irigasi pertanian berupa pengembangan jaringan irigasi di tingkat tersier namun perlu audit bersama antara Kementerian PUPR dan Kementerian Pertanian untuk identifikasi data irigasi (kondisi saluran irigasi primer, sekunder dan tersier).
4) Koordinasi meliputi: percepatan pemanfaatan bendungan baru, peningkatan fungsi saluran tersier dan penetapan CPCL yang bersinggungan antara program PUPR dan Kementan.(**)
Rubrik Perspektif Buletin Sinergi Edisi 63 menghadirkan narasumber dari Kementerian Keuangan. Dalam rubrik ini dibahas dukungan infrastruktur dari Kementerian Keuangan untuk pengembangan kawasan pertanian, Topik ini mencakup peningkatan produktivitas, pemerataan pertumbuhan, dan ketahan pangan berkelanjutan.. selengkapnya dalam Rubrik Perspektif Buletin Sinergi Edisi 63.
RPIW Selaras dengan Prioritas Sektor Pertanian
Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, M.Si.
Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Pertanian
Selama periode RPJMN 2020 - 2024, Kementerian PUPR telah melaksanakan berbagai proyek infrastruktur dalam rangka mendukung pencapaian target RPJMN 2020-2024. Proyek-proyek tersebut secara positif berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan. Beberapa proyek infrastruktur yang dilaksanakan Kementerian PUPR yang memiliki kontribusi yang signifikan terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua.
Proyek seperti Bendungan Manikin dan Temef di NTT, serta pembangunan jalan Trans Sumba, Trans Maluku, dan Trans Papua menjadi bagian penting dari upaya untuk memperkuat ketahanan air dan pangan, serta membuka keterisolasian wilayah terpencil dan meningkatkan akses ke pelayanan dasar. Hal ini tidak hanya menjawab kebutuhan dasar masyarakat tetapi juga mendukung pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan.
Pembangunan infrastruktur di kawasan-kawasan strategis seperti DPP Labuan Bajo, DPP/KEK Morotai, DPP Raja Ampat, dan KEK Sorong juga telah dilakukan diantaranya melalui penataan kawasan pariwisata, pemenuhan infrastruktur dasar seperti air minum, sanitasi, perumahan, dan penyediaan air baku, yang semuanya akan memperkuat daya tarik wisata kawasan-kawasan tersebut, sekaligus mendukung kesejahteraan penduduk.
Pembangunan Pos Lintas Batas Negara juga telah dilakukan di perbatasan seperti Napan, Motamasin, dan Skouw, yang tidak hanya memperkuat keamanan nasional, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan. Di Wilayah Papua, sebagai langkah strategis untuk memperkuat pemerintahan daerah di Daerah Otonom Baru (DOB), pembangunan gedung pemerintahan seperti Kantor Gubernur, Kantor MRP, dan Kantor DPRP, serta infrastruktur pendukungnya menjadi hal yang krusial.
Kementerian PUPR bersama kementerian/lembaga terkait berkomitmen untuk mendampingi pemerintah daerah dalam setiap tahap perencanaan dan pembangunan kawasan inti pemerintahan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Namun demikian, wilayah NTT, Maluku, dan Papua masih menghadapi tantangan besar. Masalah seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta ketimpangan konektivitas antarwilayah menjadi penghambat utama pengembangan wilayah. Selain itu, desentralisasi yang belum optimal dan tingginya ketergantungan pada transfer ke daerah memperlambat kemandirian fiskal di daerah-daerah ini. Pengelolaan dana otonomi khusus di Wilayah Papua juga belum efektif, namun terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2041 diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan dana otsus yang sesuai untuk menjawab akar masalah pembangunan.
Provinsi NTT, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua juga menghadapi risiko bencana hidrometeorologi dan geologi mengingat sebagian wilayah tersebut dilalui jalur patahan serta gunung api aktif. Wilayah-wilayah ini juga banyak didiami oleh masyarakat hukum adat yang saat ini perlindungannya masih belum maksimal. Di samping itu, dampak perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan menjadi isu yang mendesak untuk ditangani.
Untuk menjawab isu strategis tersebut, RPJPN 2025-2045 disusun dengan menitikberatkan upaya-upaya transformatif di Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dapat dilihat melalui salah satu sasaran Visi Indonesia Emas 2045, yaitu target kontribusi PDRB KTI mencapai 28,5%, dan meningkat dari proyeksi baseline sebesar 21,4% di tahun 2025.
Untuk mencapainya, pendekatan transformatif dilakukan melalui pengembangan ekosistem sentra produksi, riset berbasis komoditas unggulan, serta peningkatan konektivitas fisik dan digital.
Sebagai upaya mencapai target tersebut, telah disusun kebijakan transformatif yang spesifik untuk menjawab isu di Provinsi NTT, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua sesuai konteks wilayah masing-masing. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, masing-masing provinsi di wilayah-wilayah ini diarahkan untuk mengembangkan ekosistem sentra produksi, industri, dan riset inovasi berbasis komoditas unggulan.
Sedangkan untuk optimalisasi pengembangan potensi pariwisata, perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas dan konektivitas, serta amenitas di kawasan pariwisata prioritas eksisting seperti DPP Labuan Bajo, Raja Ampat, dan Morotai, serta kawasan pariwisata lainnya, di antaranya Banda Neira di Provinsi Maluku, Anggi di Provinsi Papua Barat, serta Pulau Sumba di Provinsi NTT.
Termasuk dalam upaya transformasi ekonomi ini adalah pengembangan kawasan sekitar kawasan strategis eksisting seperti KI Teluk Weda dan KI Fak Fak, pembangunan infrastruktur pemerintahan dan perkotaan di 4 ibukota DOB, serta penataan dan pengembangan perkotaan prioritas dengan masterplan yang disusun oleh Bappenas, yaitu Weda (Kab. Halmahera Tengah), Labuan Bajo (Kab. Manggarai Barat), Daruba (Kab. Pulau Morotai), Anggi (Kab. Pegunungan Arfak), Banda Neira (Kab. Maluku Tengah), dan Kota Sorong.
Peningkatan kualitas SDM juga menjadi pilar utama pembangunan ke depan. Langkah-langkah seperti sekolah berpola asrama, sekolah sepanjang hari, dan sistem pembelajaran jarak jauh, termasuk sekolah terbuka serta pelayanan kesehatan bergerak (mobile health services) dan sistem telemedicine berbasis gugus pulau dirancang untuk menjawab tantangan geografis. Upaya ini diharapkan dapat menekan prevalensi stunting, meningkatkan angka partisipasi pendidikan, serta memperluas akses layanan kesehatan.
Untuk memastikan keberlanjutan pembangunan, tata kelola pemerintahan juga menjadi perhatian utama. Pendekatan smart government dan peningkatan kapasitas ASN akan menjadi strategi kunci untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Selain itu, penguatan kawasan perbatasan melalui pembangunan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) kecamatan perbatasan prioritas, dan pulau-pulau kecil terluar serta pemberantasan praktik ilegal seperti IUU Fishing merupakan langkah penting untuk menjaga kedaulatan wilayah dan sumber daya alam.
Dalam peningkatan ketahanan pangan, pengembangan kawasan sentra produksi pangan dan diversifikasi pangan berbasis tanaman pangan, pangan akuatik dan pangan hewani menjadi prioritas utama. Dukungan infrastruktur seperti penyediaan listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dan peningkatan ketersediaan air baku akan menjadi landasan bagi ketahanan pangan, air, dan energi yang berkelanjutan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan infrastruktur aksesibilitas dan konektivitas serta perumahan dan permukiman untuk mendukung upaya pembangunan transformatif di Provinsi NTT, Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua tersebut.
Pembangunan infrastruktur ini tentunya diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penguatan akses ke pusat-pusat pertumbuhan, mendukung pengembangan komoditas unggulan wilayah, serta menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, infrastruktur yang memadai juga akan mempercepat penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Penyusunan Rencana Pembangunan Infrastruktur Wilayah (RPIW) yang mengacu pada RPJPN dan RPJMN merupakan langkah strategis yang sejalan dengan prinsip perencanaan pembangunan nasional. Pendekatan ini memungkinkan integrasi antara perencanaan infrastruktur wilayah dengan kebijakan pembangunan nasional jangka menengah dan panjang, memastikan bahwa perencanaan infrastruktur tidak hanya bersifat regional atau sektoral, tetapi juga mendukung tujuan pembangunan nasional.
Bappenas tentu berharap bahwa dalam penyusunannya, substansi RPIW perlu selaras dengan substansi RPJPN dan RPJMN, terutama terkait arah kebijakan pembangunan dan lokasi prioritasnya. Dengan mengacu pada RPJPN dan RPJMN, BPIW memastikan bahwa perencanaan infrastruktur wilayah tidak hanya bersifat regional atau sektoral, tetapi juga mendukung tujuan-tujuan pembangunan nasional. Hal ini sangat penting agar setiap pembangunan infrastruktur tidak hanya memberikan dampak yang terbatas, tetapi juga berkelanjutan dan sejalan dengan visi pembangunan Indonesia, yakni Visi Indonesia Emas 2045.
Selain itu, RPIW yang menjadi input dalam pelaksanaan Rakorbangwil dan Konreg menunjukkan adanya proses bottom-up dan top-down yang saling menguatkan dalam perencanaan infrastruktur. Pendekatan ini memastikan bahwa kebutuhan dan prioritas daerah dapat diakomodasi dalam perencanaan yang dilakukan di tingkat pusat, sehingga pelaksanaan infrastruktur benar-benar mendukung pembangunan berbasis wilayah.
Selain RPJPN dan RPJMN, RPIW juga diharapkan dapat mengacu pada dokumen nasional yang bersifat kewilayahan, seperti Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua 2022-2041 beserta turunannya (Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua), Rencana Induk Percepatan Pembangunan Pulau Sumba 2023-2042, serta masterplan penataan dan pengembangan kawasan perkotaan prioritas.
Pada akhirnya, ketika RPIW menjadi input dalam pelaksanaan Rakorbangwil dan Konreg, diharapkan seluruh dukungan kegiatan yang dibahas sudah selaras, baik dari sisi prioritas kegiatan maupun lokasi prioritasnya. Hal ini perlu dikawal dengan seksama agar dapat termuat dalam Renja Kementerian PUPR.
Kemudian Kementerian PUPR merupakan counterpart Bappenas dalam pelaksanaan RPJPN 2025-2045. Bappenas berharap, sebagai institusi perencanaan infrastruktur wilayah, BPIW dapat memainkan peran penting dalam mendukung tercapainya Visi Indonesia Emas 2045, terutama dalam konteks pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, terintegrasi, dan berbasis wilayah.
Harapannya BPIW dapat berperan dalam merencanakan dan menyusun strategi pengembangan infrastruktur yang terkoordinasi dengan rencana pembangunan nasional. Hal ini penting untuk memastikan bahwa infrastruktur mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan konektivitas antarwilayah.
Selanjutnya, salah satu fokus utama dari Visi Indonesia Emas 2045 adalah peningkatan konektivitas, baik fisik maupun digital. BPIW diharapkan dapat berperan dalam mengembangkan jaringan infrastruktur yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi dan wilayah terpencil guna mendukung integrasi ekonomi nasional.
Kami menekankan bahwa BPIW diharapkan turut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan infrastruktur yang ramah lingkungan, mendukung ketahanan terhadap perubahan iklim, serta berkelanjutan untuk jangka panjang, sesuai dengan agenda pembangunan hijau yang menjadi bagian dari visi ini.
Dalam mendukung pemerataan pembangunan, BPIW dapat mengoordinasikan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan perbatasan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dan memajukan daerah-daerah yang selama ini tertinggal. Selain itu, kami berharap BPIW Kementerian PUPR terus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, dan lembaga internasional, untuk memastikan bahwa pengembangan infrastruktur berjalan sesuai dengan kebutuhan daerah dan selaras dengan prioritas nasional.
Dengan peran ini, BPIW Kementerian PUPR dapat menjadi salah satu institusi yang sangat penting dalam mewujudkan infrastruktur yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.(**)
Direktur Regional I Kementerian PPN/Bappenas, Abdul Malik Sadat Idris mengatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dibuat Kementerian PPN/Bappenas terdapat Proyek Prioritas Nasional atau yang dikenal dengan nama Major Project, yang di dalamnya berisi kumpulan proyek yang memiliki daya ungkit tinggi dalam mencapai sasaran RPJMN.
Beberapa proyek yang memiliki kontribusi yang signifikan mendukung target RPJMN 2020 –2025 dan RPJPN 2005 – 2025 di Wilayah I, yaitu:
Menurut Abdul Malik Sadat Idris dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2025-2029 dan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 di Wilayah I yakni Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali, memiliki beberapa isu strategis. Pulau Sumatera memilki beberapa isu strategis yakni belum optimalnya hilirisasi komoditas unggulan wilayah sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan pertambangan. Kemudian, belum optimalnya kualitas SDM dimana mayoritas tenaga kerja didominasi oleh lulusan pendidikan menengah ke bawah.
Isu strategis lainnya di Pulau Sumatera yakni degradasi lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, abrasi, dan penurunan luas lahan pertanian pangan karena aktivitas perkebunan kelapa sawit, alih fungsi lahan, serta pertambangan. Belum meratanya akses dan kualitas pelayanan dasar terutama fasilitas dan tenaga kesehatan dan pendidikan terutama di daerah 3T juga menjadi isu strategis di Pulau Sumatera ini. Selain itu, di pulau ini masih terbatas kapasitas dan kualitas infrastruktur, khususnya konektivitas antarwilayah, infrastruktur ekonomi, infrastruktur dasar, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, di Pulau Sumatera terdapat isu strategis berupa masih tingginya kerentanan dan potensi bencana terutama di pesisir barat; dan maraknya kriminalitas (narkoba, human trafficking) di daerah perbatasan negara. Beberapa isu strategis juga terdapat di Pulau Jawa dan Pulau Bali yakni masih tingginya kesenjangan pembangunan antarwilayah, karena persebaran pusat ekonomi yang tidak merata antara wilayah bagian Utara dan Selatan, serta wilayah kepulauan di Pulau Jawa dan Pulau Bali tersebut.
Isu strategis lainnya yakni masih tingginya kerentanan dan potensi bencana seperti banjir rob di daerah pesisir utara Pulau Jawa, gempa bumi dan tsunami di daerah pesisir Selatan Pulau Jawa. Kemudian, isu strategis terkait degradasi lingkungan seperti penurunan muka tanah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan polusi udara akibat aktivitas industri.
Pulau Jawa dan Pulau Bali juga memerlukan percepatan pembangunan infrastruktur layanan dasar, konektivitas, serta optimalisasi pemanfaatan teknologi dalam pengembangan sektor primer, industri, serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Selain itu ada isu strategis terkait belum optimalnya upaya pengurangan tingkat pengangguran karena adanya missmatch antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri. Selanjutnya, belum optimalnya upaya penanggulangan kemiskinan dalam mengurangi kantong-kantong kemiskinan dan jumlah penduduk miskin serta scarring effect akibat pandemi Covid-19.
Isu strategis berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali terkait pengembangan kawasan perkotaan sebagai pusat aktivitas ekonomi regional dan pusat pelayanan publik antara lain melalui pemenuhan infrastruktur perkotaan seperti layanan angkutan kota dan transportasi massal dan penataan kawasan, penataan permukiman kumuh, pemenuhan layanan dasar perkotaan dan amenitas perkotaan, serta peningkatan ketahanan bencana dan Kualitas lingkungan perkotaan.
Ia juga menjelaskan bahwa kebijakan antara Kementerian PPN/Bappenas dengan Kementerian PUPR yang perlu disinkronkan untuk Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali antara lain pertama, Penyelarasan Prioritas Pembangunan Wilayah. Program-program yang tercantum di dalam Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW) harus selaras dengan indikasi program yang ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selain itu, sasaran dan tujuan yang diidentifikasi dalam RPIW juga harus mampu mendukung dan memperkuat tujuan pembangunan jangka menengah yang sudah ditetapkan dalam RPJMN.
Kedua, sinkronisasi terkait basis data dan informasi kewilayahan antara RPIW dan RPJMN. Kedua dokumen ini perlu menggunakan data dan analisis yang konsisten terkait kondisi sosial, ekonomi, dan infrastruktur di setiap wilayah. Konsistensi data ini memastikan bahwa dasar perencanaan yang digunakan akurat dan berbasis fakta yang sama.
Sinkronisasi yang ketiga yang sangat penting untuk dilakukan yakni mekanisme pembiayaan. Strategi pembiayaan yang diuraikan dalam RPIW harus selaras dengan alokasi anggaran yang direncanakan dalam RPJMN. Pendekatan pembiayaan multi-sumber yang disusun dalam RPIW perlu mencerminkan strategi keuangan yang dirancang dalam RPJMN untuk memastikan keberlanjutan pendanaan bagi proyek-proyek strategis.
Kemudian yang keempat, yakni sinkronisasi terkait target dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang diusulkan dalam RPIW harus diselaraskan dengan indikator kinerja yang ditetapkan dalam RPJMN. Indikator-indikator ini harus mampu mencerminkan hasil pembangunan yang terukur, baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif.
Abdul Malik pun memberikan beberapa contoh sinkronisasi kebijakan yang perlu dilakukan Bappenas dengan Kementerian PUPR, yakni:
Kemudian, terkait perencanaan infrastruktur, Kementerian PUPR melalui BPIW menyusun Rencana Pengembangan Infrastruktur Wilayah (RPIW) sesuai amanat Peraturan Menteri (Permen) PUPR No.6 Tahun 2022 tentang Perencanaan dan Pemrograman Pembangunan Infrastruktur PUPR yang kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR No. 817 tahun 2024 tentang RPIW.
Terkait kedudukan dalam kebijakan, RPIW mengacu pada RPJMN dan RPJPN. Kemudian RPIW menjadi input bagi pelaksanaan Rakorbangwil dan Konreg Kementerian PUPR yang pada akhirnya menjadi input terhadap rencana kerja Kementerian PUPR. Mengenai hal ini Abdul Malik mengatakan bahwa dirinya mendukung dengan hasil penyusunan RPIW akan menjadi referensi input usulan dalam forum-forum perencanaan dari pemerintah daerah.
Usulan tersebut dapat diusulkan dalam forum Konsultasi Regional (Konreg) Kementerian PUPR, forum perencanaan lainnya seperti Rakortek – Rakorgub – Musrenbangprov dan pada akhirnya bermuara pada usulan Musrenbangnas RKP tiap tahun. Dikatakannya juga bahwa sesuai dengan amanat Undang- Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diamanatkan terkait pelaksanaan Musrenbangnas RKP dan RKPD.
Terkait peran BPIW Kementerian PUPR melalui RPIW dalam mendukung Visi Indonesia Emas 2045, Abdul Malik berharap BPIW mampu untuk menyusun perencanaan infrastruktur wilayah dalam RPIW yang terintegrasi dengan perencanaan kewilayahan, seperti RPJPN, RPJMN, RKP; perencanaan sektoral yang telah dilakukan juga di Kementerian PPN/Bappenas, serta kementerian lembaga lainnya (contoh: JUTPI, RITJ, RUPTL). “Hal ini agar dapat mendukung pengintegrasian infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, konektivitas wilayah, dan penguatan kondisi sosial masyarakat,” ujarnya.
Perencanaan infrastruktur wilayah yang perlu untuk terus didasarkan pada karakteristik khas dan/atau fungsionalitas dari suatu kawasan, seperti kawasan perkotaan kawasan pertanian, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan sebagainya. Ia juga berharap BPIW juga mengupayakan perencanaan infrastruktur yang tidak hanya mendorong kemajuan wilayah, tetapi juga mendukung keberlanjutan dengan keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kemudian, alternatif pembiayaan juga perlu dimunculkan dalam perencanaa infrastruktur karena kapasitas fiskal daerah yang sebagian besar masih belum cukup. “Pengarusutamaan teknologi terbaru dalam pengembangan infrastruktur kewilayahan juga perlu dioptimalkan, baik dalam bidang konstruksi maupun energi,” pungkasnya.(**)