Komitmen pada Lingkungan, Kementerian PUPR Memastikan Berperan Aktif Wujudkan Amanat SDGs
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan berperan aktif dalam mewujudkan
amanat Sustainable Development Goal (SDGs) atau agenda tujuan pembangunan berkelanjutan global.
Peran aktif antara lain melalui beberapa kegiatan pembangunan infrastruktur yang mendukung tanpa
kemiskinan, tanpa kelaparan, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi, industri, inovasi
infrastruktur, kota dan komunitas berkelanjutan, dan aksi perubahan iklim. Hal itu ditegaskan Kepala
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR, Yudha Mediawan saat menjadi
pembicara kunci mewakili Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono dalam "The 7th Environmental Technology &
Management Conference (ETMC)" di Bali, Kamis 2 November 2023.
Pada forum tersebut, hadir Rektor Institut Teknologi (ITB) Bandung, Prof. Reini Wirahadikusuma,
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, Prof. Edwan Kardena, Kepala Pusat Pengembangan
Infrastruktur Wilayah Nasional (Kapusnas) BPIW, Zevi Azzaino, serta para undangan lainnya.
Yudha mengaku, merasa terhormat berada di forum yang melibatkan berbagai komunitas internasional
untuk berbagi dukungan dalam mengantisipasi dan mengatasi tantangan lingkungan yang muncul. Ia
memaparkan, perencanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia merupakan salah satu garda terdepan
pembangunan nasional. "Dalam hal ini BPIW, diamanatkan untuk berperan penting dalam perencanaan,
pemrograman, dan pengembangan infrastruktur nasional dan daerah, khususnya di bidang sumber daya
air, konektivitas jalan, perumahan rakyat, dan permukiman," jelasnya.
Menurutnya, infrastruktur PUPR mempunyai dampak penting pada banyak sektor, seperti sosial, ekonomi,
keamanan, dan sebagainya. "Kemudian, kita ketahui hampir semua aktivitas manusia seperti penggunaan
energi, industri, transportasi, bangunan, pertanian dan lainnya menyebabkan tiga krisis yaitu
perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati," ungkap Yudha.
Konsekuensi dari ketiga krisis tersebut sangat berdampak besar bagi umat manusia. Jumlah penduduk
yang mengalami kekurangan air diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 5,7 miliar jiwa pada tahun
2050. Sedangkan secara nasional, dampak negatif perubahan iklim di Indonesia misalnya terlihat pada
meningkatnya suhu, perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan sebagainya.
Menurutnya, urbanisasi juga merupakan tantangan. Pada tahun 2020, lebih dari separuh penduduk
Indonesia tinggal di perkotaan dan diperkirakan akan meningkat hingga 70% pada tahun 2045. "Kondisi
ini akan meningkatkan kebutuhan dasar infrastruktur, seperti akses terhadap air, sanitasi, dan
perumahan layak huni. Selain itu, dampak urban sprawl menyebabkan terjadinya limpahan pembangunan
yang kacau di kawasan pinggiran kota," jelasnya.
Sesuai dengan amanat Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045,
lanjutnya, Kementerian PUPR mendapat tugas untuk meningkatkan daya dukung sumber daya air nasional
dari saat ini sebesar 63 meter kubik per kapita per tahun menjadi 200 meter kubik per kapita per
tahun pada tahun 2045. Selain itu, pada tahun 2045 kontribusi biaya logistik terhadap PDB Indonesia
direncanakan akan turun menjadi 9% dari saat ini sebesar 23,2%. Pemenuhan infrastruktur dasar pada
tahun 2045 seperti air minum ditargetkan 100%, sanitasi 70%, dan pengelolaan sampah 90% juga
menunjukkan kesenjangan yang signifikan dibandingkan baseline saat ini," papar Yudha. Ia
menjelaskan, Kementerian PUPR juga diberi tugas memberikan dukungan sosial, ekonomi, dan
transformasi tata kelola melalui penyediaan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah
lingkungan. Salah satu tugasnya adalah memenuhi target peningkatan upaya pembangunan berkelanjutan,
terutama dari kontribusinya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan penggunaan energi fosil yang
mencapai 87,1% pada tahun 2021.
Kementerian PUPR, lanjutnya, berkontribusi dalam meningkatkan upaya pembangunan berkelanjutan,
memenuhi target pengelolaan sampah dari 15% menjadi 90% pada tahun 2045 dengan beberapa pendekatan
seperti Tempat Pengolahan Sampah (TPS-3R), waste to energy, dan Refuse Derived Fuel (RDF).
Selain itu, lanjutnya, limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang tidak diolah dengan baik
merupakan salah satu penyebab pencemaran lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, pengendalian
limbah melalui skema yang tepat diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif tersebut.
Salah satu tantangan untuk mengembangkan infrastruktur yang berketahanan dan berkelanjutan adalah
memasukkan isu-isu lingkungan hidup yang muncul. "Seperti isu perubahan iklim, isu air bersih dan
kelautan, isu energi dan limbah ke dalam perencanaan dan program infrastruktur kita yaitu Rencana
Pembangunan Infrastruktur Wiayah (RPIW) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PUPR.
Upaya lain yang sedang dilakukan untuk mengatasi tantangan lingkungan, lanjutnya, mendorong
infrastruktur berkelanjutan. Konstruksi merupakan salah satu pengguna sumber daya alam terbesar dan
berpotensi pada penurunan kualitas lingkungan, sehingga menyebabkan perubahan iklim. "Pembangunan
dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini, namun juga untuk generasi
mendatang. Untuk mengurangi penurunan kualitas lingkungan hidup akibat infrastruktur, Kementerian
PUPR telah menetapkan Peraturan 9/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Konstruksi Berkelanjutan. Di
dalamnya mengatur pelaksanaan konstruksi dengan memperhatikan 3 pilar, yaitu pilar ekonomi, pilar
sosial, dan pilar lingkungan hidup," terangnya.
Dengan menerapkan konstruksi berkelanjutan, diharapkan pembangunan infrastruktur dapat mewujudkan
konstruksi yang layak secara ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendukung
pelestarian lingkungan, dan mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat. Kementerian PUPR juga
berkomitmen untuk mengembangkan infrastruktur permukiman dan perumahan yang berkelanjutan, termasuk
bangunan gedung, sebagaimana tertuang dalam salah satu visi Kementerian pada tahun 2030, yaitu
mencapai 100% Smart Living. Dalam mencapai 100% Smart Living, menekankan pada peningkatan penyediaan
infrastruktur yang partisipatif dan berkelanjutan untuk permukiman dan perumahan. "Solusi yang perlu
dilakukan dalam menanggapi permasalahan lingkungan hidup dalam pembangunan infrastruktur adalah
dengan fokus pada penerapan infrastruktur yang berketahanan dan berkelanjutan ke dalam rencana dan
proyek pembangunan infrastruktur sebagai praktik standar," terangnya.
Ia juga berharap, forum ETMC dapat menghasilkan ide dan inisiatif baru, serta mendorong tindakan
kolaboratif untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan berkelanjutan. "Tidak ada pilihan lain, selain
bekerja sama. Paradigma kolaborasi harus diwujudkan. Para perencana, insinyur, dan pengambil
kebijakan harus mampu mengubah situasi krisis lingkungan ini menjadi peluang untuk membangun
infrastruktur yang berketahanan serta permukiman yang layak huni," tegasnya.(Ris/Tiara)